Makalah Lengkap Peranan Mikroba Dekomposer

Written By Media Pertanian on Friday, August 12, 2022 | 2:57 PM

 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

 

Pada saat sekarang ini lahan pertanian semakin berkurang kesuburannya, Hal tersebut dikarenakan penggunaan lahan dan pemakaian pupuk kimia yang terus menerus tanpa diikuti upaya pemulihan kesuburannya. Menurut Bekti (2001), struktur dan kesuburan tanah dapat diperbaiki dengan penggunaan pupuk kompos. Umumnya pupuk kompos yang dimanfaatkan petani saat ini adalah kompos dari sekam atau jerami padi, dan sampah organik, Akan tetapi didalam pembuatannya membutuhkan waktu yang lama apabila tidak dibantu dengan mikroorganisme Biodekomposer.

Biodekomposer merupakan konsorsium mikroba yang berfungsi untuk menguraikan bahan organik, sehingga materi yang diuraikan dapat diserap oleh tumbuhan yang hidup di sekitar daerah tersebut. Terdapat beberapa dekomposer yang diantaranya berasal dari bakteri, aktinomisetes, fungi, algae (ganggang), protozoa dan cacing tanah. Agen dekomposer dapat digunakan untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas hasil pengomposan, dan telah diproduksi secara komersial, umumnya dalam bentuk konsorsium mikroorganisme yang disebut dengan bioaktivator pengomposan atau biodekomposer (Saraswati, 2010)

Teknologi pengembangan bioaktivator pengomposan atau biodekomposer, biasa disebut dengan teknologi efektif mikroorganisme, yaitu teknologi pencampuran kultur berbagai jenis mikroorganisme yang bermanfaat (bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, ragi, actinomycetes, dan jamur peragian) yang dapat dimanfaatkan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman mikroba tanah (Turista, 2010).

Menurut Prihandarini (2004) proses pengomposan melibatkan jasad hidup tanah, proses pengomposan akan terjadi lebih cepat dengan penambahan inokulan sebagai aktivator dari kultur jasad hidup. Penambahan inokulan sebagai aktivator mempunyai pengaruh yang menguntungkan, karena selain dapat mempercepat proses pengomposan juga dapat meningkatkan kandungan unsur hara kompos.

Bakteri yang selama ini keberadaanya jarang diperhitungkan ternyata dapat memberikan manfaat yang besar bagi manusia. Kini sudah terpikirkan oleh para ekologiawan bahwa tumbuhan dan hewan bersama-sama dengan seluruh lungkungannya membentuk suatu sistem yang bekerja tergantung pada peran yang dimainkan oleh setiap komponen dari sistem itu.

Sejauh yang berkenaan dengan struktur ekosistem yang khas mempunyai tiga komponen biologi yaitu produsen (jasad autotrof) atau tumbuhan hijau yang mampu menambat energi cahaya, Hewan (jasad heterotrof) atau konsumen makro yang menggunakan bahan organik dan dekomposer (pengurai) yang terdiri dari jasad renik yang menguraikan bahan organik dan membebaskan zat hara terlarut.

Dekomposer ini merupakan tingkat makanan utama yang terakhir dalam ekosistem. Kelompok ini terutama terdiri dari jasad renik tanah seperti bakteri dan jamur. Walaupun juga mencakup cacing tanah, rayap, tungau, kumbang dan anthrophoda lainnya (Ewusie.J.Y.1990).

1.2    Rumusan Masalah

1.      Apa itu komposer ?

2.      Bagaimana cara melakukan komposer ?

3.      Mikroba apa yang terkait saat komposer ?

4.      Bagaimanakah cara perbanyakan, isolasi dan seleksi dari mikroba komposer ?

5.      Bagaimana cara aplikasi mikroba komposer di lapangan ?

1.3    Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah :

1.      Untuk mengetahui apa itu komposer

2.      Untuk mengetahui cara melakukan komposer

3.      Untuk mengetahui mikroba apa yang terkait saat komposer

4.      Untuk mengetahui cara perbanyakan, isolasi dan seleksi dari mikroba komposer

5.      Untuk mengetahui cara aplikasi mikroba komposer di lapangan

BAB II
ISI

1.1   Komposer

Komposer adalah makhluk hidup yang berfungsi untuk menguraikan bahan organik baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan, sehingga materi yang diuraikan dapat diserap oleh tumbuhan yang hidup disekitar daerah tersebut (Saraswati, 2007). Komposer atau pengurai adalah organisme yang memakan organisme mati dan produk-produk limbah dari organisme lain. Komposer membantu siklus nutrisi kembali ke ekosistem lainnya.

Komposer membuat tanah kaya dengan menambahkan senyawa organik dengan itu zat seperti karbon, air dan nitrogen dikembalikan ke ekosistem melalui tindakan pengurai. Yang termasuk contoh pengurai (komposer) adalah serangga, cacing tanah, bakteri, jamur, belatung, lactobacteria, kecoa, ragi, siput, lumut, dan actinomycetes. Komposer atau pengurai adalah makhluk hidup yang memperoleh energi dengan cara menguraikan sisa-sisa makhluk hidup yang telah mati. Selain pengurai dalam komponen biotik berdasarkan cara hidupnya terdapat juga produsen dan konsumen. Produsen berarti penghasil, artinya produsen mampu menghasilkan makanannya sendiri dengan cara fotosintesis. Yang tergolong produsen adalah tumbuhan yang berklorofil. Oleh karena itu tumbuhan hijau disebut autotrof. Contohnya Padi sebagai produsen

Konsumen disebut pemakai, artinya makhluk hidup tersebut memakan tumbuhan atau hewan lain untuk mendapatkan energi. Makhluk hidup ini disebut heterotrof. Konsumen dibagi ke dalam dua tingkatan yaitu Konsumen I dan II. Konsumen I disebut herbivora dan konsumen II disebut karnivora. Contohnya konsumen I adalah jerapah dan konsumen II adalah singa.

Sehingga perbedaan antarara produsen, konsumen dan komposer (pengurai) adalah sebagai berikut: Produsen: organisme yang mendapat energi dari sinar matahari dengan memproduksi gula dan karbohidrat sederhana lainnya. Konsumen: organisme yang mengkonsumsi organisme lain untuk energi. Komposer: organisme yang mendapat energi dengan memecah organisme mati ke nutrisi.

Dekomposer merupakan organisme yang menguraikan bahan organik menjadi anorganik untuk kemudian digunakan oleh produsen. Dekomposer dapat disebut juga sebagai organisme detritivor atau pemakan bangkai. Contoh organisme dekomposer adalah bakteri pembusuk dan jamur Pengurai (dekomposer) adalah kelompok mikroorganisme berupa bakteri dan jamur yang bersifat saprobe ada juga yang menyebutnya bersifat saprofit yang merombak atau menguaikan sisa-sisa jasad yang mati. Tidak seperti hewan yang dapat makan makanan yang padat, jamur dan bakteri dapat makanan dengan cara menyerap zat-zat organik dari bagian tubuh yang mati diuraikan kembali menjadi zat-zat anorganik dengan menggunakan enzim pencernaan yang selanjutnya di kembalikan lagi ke alam.

Hasil perombakan tersebut dapat berupa remukan atau hancuran (detritus) yang merupakan makanan dari detritivor, seperti belatung, rayap, siput, cacing tanah, luing dan teripang. Hasil penguraian oleh kelompok pengurai ini berupa zat mineral yang akan meresap ke dalam tanah. Zat-zat mineral itulah yang kelak akan diambil oleh tumbuhan untuk disusun menjadi makanan. Dengan adanya kelompok dekomposer (pengurai) ini banyak keuntungan yang didapatkan. Pertama, tidak akan ada tumpukan bangkai hewan atau luruhan daun dan ranting pepohonan. Kedua, tumbuhan dapat memperoleh zat hara yang diperlukan untuk mensintesis makanan.

2.      Cara Melakukan Komposer

Menurut Sutedjo et al. (1991) dekomposisi merupakan peristiwa perubahan secara fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah baik bakteri, fungi, dan hewan tanah lainnya. Peristiwa ini sering juga disebut mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik yang berasal dari hewan dan tanaman yang berubah menjadi senyawa - senyawa anorganik sederhana. Proses dekomposisi ini penting dalam siklus ekologi sebagai salah satu asupan unsur hara ke dalam tanah seperti disampaikan oleh Vos et al. (2013) bahwa proses dekomposisi ini berperan penting dalam siklus karbon dan nutrisi lain.

Dekomposisi merupakan proses perubahan secara fisik maupun secara kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah, dan terkadang disebut mineralisasi. Dekomposisi merupakan proses yang dinamis dan sangat dipengaruhi oleh keberadaan dekomposer baik jumlah maupun diversitasnya.

Dekomposisi adalah proses alami dari hewan mati atau jaringan tanaman menjadi busuk atau rusak. Proses ini dilakukan oleh invertebrata, jamur dan bakteri. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Dekomposisi pada kondisi lapang merupakan proses yang sangat kompleks. Proses dekomposisi ini dikendalikan oleh tiga faktor utama yaitu sifat bahan organik atau kualitas bahan baku, kondisi fisik dan kimia lingkungan seperti temperature, kelembapan pH, unsur mineral, dan potensi redoks, serta komposisi organisme tanah.

Dekomposisi (penguraian) oleh dekomposer di dalam ekosistem merupakan hasil kerjasama antara kelompok mikroflora dan invertebrata. Tanpa kehadiran invertebrata mikroflora dalam proses dekomposisi sangat lambat. Invertebrata telah diketahui menstimulasi pertumbuhan mikrobia melalui fragmentasi substrat, merubah sifat fisik dan kimia substrat serta melalui grazing (memakan mikrobia). Dengan kata lain proses dekomposisi srcara tidak langsung dapat dicerminkan oleh komposisi, dinamika, populasi dan aktivitas lain invertebrata.

Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran yang dilakukan oleh serangga kecil terhadap tumbuhan dan sisa bahan organik mati menjadi ukuran yang lebih kecil. Kemudian dilanjutkan dengan proses biologi yang dilakukan oleh bakteri dan fungi untuk menguraikan partikel-partikel organik. Proses dekomposisi oleh bakteri dan fungi sebagai dekomposer dibantu oleh enzim yang dapat menguraikan bahan organik seperti protein, karbohidrat dan lain-lain.

Menurut Sunarto (2003), kecepatan proses dekomposisi pada umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, yang dapat mermpengaruhi pertumbuhan dekomposer, diantaranya adalah faktor iklim seperti curah hujan, kelembaban, intensitas cahaya, suhu udara di sekitar daerah pengomposan dan kondisi lingkungan tempat tumbuh organisme seperti suhu, air, pH, salinitas air, kandungan oksigen, kandungan hara organik dan lain-lain. Pada proses dekomposisi, semua faktor fisik, kimia, maupun biologis saling berinteraksi satu sama lain. Limbah serasah dari pepohonan dan tanaman, seperti dedaunan dan ranting, memiliki komposisi selulosa sebesar 45% dari berat kering bahan. Sedangkan hemiselulosa menempati 20-30% dan sisanya adalah lignin. Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul rendah. Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa. Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui unit-unit penilpropan yang berhubungan secara bersama oleh beberapa jenis ikatan yang berbeda. Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman.

2.1   Mikroba Komposer

Menurut Endah (2004), terdapat beberapa mikroba dekomposer yang diantaranya berasal dari :

1.   Bakteri. Bakteri yang hidup dalam tanah memegang peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman, sehubungan dengan kemampuannya dengan mengikat N2 dari udara dan mengubah ammonium menjadi nitrat.

2.   Aktinomisetes. Tiga genus dari aktinomisetes yang baik berada dalam tanah, yaitu species Nokordia, yang sangat  berhubungan dengan bakteri,  terutama pada Mycobakteria, Crynebakteri, species yang termasuk genus Streptomyces dan Micromonospora adalah lebih rapat hubungannya pada fungi.

3.   Fungi. Termasuk ke dalamnya golongan- golongan besar antara lain golongan Fikomisetes, Askomisetes, Hipomisetes atau cendawan imperfekti dan Basidiomisetes.

4.   Algae (ganggang). Merupakan tanaman mikroskopis, tanaman tingkat rendah yang mempunyai klorofil dengan jaringan tubuh yang tidak berderferensiasi, tidak membentuk akar, batang dan daun.

5.   Protozoa. Protozoa makhluk hidup uniseluler, dengan ukuran yang beragam antara 3 sampai 1.000 µm.

6.   Cacing tanah. Manfaat cacing tanah sebagai agensia pendekomposer dapat dijelaskan sebagai berikut :

a)                Dapat mempercepat pelapukan sisa sisa tanaman.

b)               Kotoran cacing dapat meningkatkan kesuburan tanah atau kadar NPK pada tanah yang di huninya.

c)                  Lorong -  lorong yang dibuatnya dalam tanah (terutama pada lapisan topsoil)   memungkinkan masuknya udara sehat.

2.2   Cara Perbanyakan, Isolasi dan Seleksi dari Mikroba Komposer

Cara perbanyakan, isolasi dan seleksi dari mikroba komposer kami ambil dari jurnal yang berjudul : Isolasi Dan Seleksi Mikroba Potensial Sebagai Aktivator Pengomposan Untuk Mendekomposisi Limbah Kulit Acacia mangium oleh Gusmailina.

1.   Tahap 1 (Eksplorasi, isolasi dan seleksi)

Kegiatan eksplorasi dilakukan pada habitat alami pada tumpukan serbuk dan kulit kayu mangium di area PT. TEL Pulp & Paper, Muara Enim Palembang (Sumsel) dan PT. IKPP (Indah Kiat Pulp & Paper) Perawang, Pekanbaru (Riau). Eksplorasi di beberapa tempat yang diperkirakan mengandung mikroba dekomposer yang ditandai dengan pembusukan atau pelapukan dari limbah kulit tersebut. Eksplorasi ada yang di bagian permukaan, tengah dan bagian bawah tumpukan kulit pada beberapa tingkat umur tumpukan dengan indikasi melalui warna spora yang terbentuk.

Ada kelompok fungi yang menunjukkan spora dengan warna kemerahan, kebiruan, kekuningan dan keputihan. Tetapi warna tersebut tidak menyolok, kecuali jika dilihat dan diperhatikan secara teliti. Kondisi inipun jarang dijumpai karena eksplorasi dilakukan pada musim kemarau.

Hasil eksplorasi dibawa ke laboratrium, dicuci, dipisahkan lalu diencerkan secara bertingkat untuk ditumbuhkan pada media yang sudah disediakan (metode Nishida et al., 1988). Kemudian dilakukan isolasi dan screening dalam beberapa tingkat untuk  mendapatkan isolat murni. Masing-masing sampel juga dianalisis kandungan C organik, dan N untuk mengetahui tingkat pembusukan/pelapukan yang terjadi melalui nilai C/N yang diperoleh. Pada tahap akhir pengujian, media dicampur dengan serbuk kulit  Acacia mangium, sehingga diperoleh isolat mikroba yang diperkirakan berpotensi sebagai dekomposer kulit A. mangium. Pengujian dilakukan beberapa tahap dengan 4 kali ulangan untuk mendapatkan hasil yang tepat.

2.     Tahap 2 (uji sellulolitik dan lignolitik)

a.               Kemampuan selulolitik diuji secara kualitatif dengan mengikuti prosedur Poincelot dan Day (1972) dan Moore et al. (1979) dengan melihat pelepasan pewarna RBB dari selopan. Selopan yang telah diberi RBB digunakan untuk mengetahui kemampuan isolat dalam mengurai selulosa, yang diletakkan di atas medium agar. Isolat yang telah diinokulasi diinkubasi pada suhu kamar dan suhu 37o C. Kemampuan selulolitik diamati setiap hari selama seminggu dengan kriteria adanya pelepasan pewarna RBB dari selopan ke dalam media dan/atau hilangnya pewarna RBB dari selopan.

Kemampuan isolat dalam mengurai lignin diuji mengikuti metode Nishida et al. (1988) yang telah dimodifikasi yaitu isolat ditumbuhkan pada medium yang ditambah dengan serbuk kulit kayu mangium dengan ukuran 150 mesh dan 0.025 ml guaiakol. Kemudian diinkubasi pada suhu kamar 37o C selama 7 hari. Pada hari ke 7 diamati intensitas warna cokelat dari daerah cincin (terang, normal, gelap) yang terbentuk disekitar koloni pada medium, lalu diukur luasnya dengan menggunakan planimetri. Warna cokelat gelap dengan luas lebih dari 5 cm2 yang terbentuk digunakan untuk menduga besarnya kemampuan lignolitik dari isolat tersebut. Kriteria ini didasarkan atas asumsi bahwa makin besar kemampuan lignolitik dari suatu isolat, maka makin banyak lignin yang didegradasi atau semakin banyak fenol yang terbentuk sehingga makin gelap atau luas daerah cincin cokelat yang terbentuk (Rayner dan Body, 1988).

Ø  Eksplorasi Mikroba

 

Eksplorasi yang dilakukan di beberapa tempat yang mengandung mikroba dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2 meliputi kondisi keasaman/pH dan nisbah C/N dari masing-masing sampel yang berasal dari lokasi eksplorasi yaitu PT. TEL dan PT. IKPP. Pada Tabel 3 dan 4 dapat diketahui hasil isolasi dan seleksi mikroba asal PT. TEL dan PT. IKPP berdasarkan lokasi eksplorasi. Sementara pada Gambar 1 dapat dilihat sebagian contoh isolat yang berasal dari PT. TEL mencakup golongan bakteri (A) dan golongan fungi (B).


 


A                                      B

Gambar 1. Contoh sebagian isolat golongan bakteri (A) dan fungi (B).

 

Ø  Isolasi dan Seleksi

 

Berdasarkan pertumbuhan mikroba dari masing-masing isolat yang berasal dari PT. TEL menunjukkan bahwa jumlah fungi yang terhitung berkisar antara (4–9) x 10 4 dan (2–5) x 10 6. hal yang sama juga terlihat pada pertumbuhan mikroba asal IKPP yaitu berkisar antara (5-9) x104    sampai   (3-6)  x  106. Pertumbuhan          bakteri   lebih   banyak   dijumpai   pada intensitas

pengenceran 108, sedangkan pertumbuhan fungi banyak dijumpai pada intensitas pengenceran 104. Isolasi dilakukan berdasarkan intensitas pengenceran, bertujuan agar sel-sel mikroba lebih terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga lebih mudah untuk melakukan isolasi (Ruel and Barnoud, 1985; Away dan Goenadi, 1995). Selain itu hasil yang diperoleh melalui cara pengenceran lebih meyakinkan, terutama dalam hal kemurniannya. Pada Tabel 3 dan 4 dapat dilihat hasil isolasi dan seleksi mikroba dari 2 lokasi yaitu PT. TEL dan PT. IKPP dan masing- masing mencakup beberapa lokasi pengambilan contoh.

 


 

Tabel 3. Hasil isolasi dan seleksi mikroba asal PT. TEL Palembang berdasarkan lokasi eksplorasi

 

 

No

 

Kode Contoh

(Sample code)

Jumlah bakteri/ pada pengenceran

(Number of bacteria at dilution intensity)

Jumlah fungi/ pada pengenceran

(Number of fungi at dilution intensity)

10 6

10 8

10 4

10 6

1

LFK

45

13

6

2

2

LFB

54

5

5

2

3

TP2

60

5

5

3

4

TP3

54

5

9

4

5

TP4

TBUD

28

5

2

6

TP5

54

5

6

3

7

TP6A

40

43

4

3

8

TP6LL

TBUD

92

8

5

9

TP6LD

TBUD

12

5

2

10

TPDA

TBUD

5

7

3

11

SB1

72

TBUD

6

4

12

SBKT

TBUD

5

7

3

13

SBKTB

TBUD

26

5

3

14

SBKAT

TBUD

145

8

5

15

SBM

TBUD

36

6

4

Keterangan (Remarks): TBUD = Tidak bisa untuk dihitung (uncountable)

Ø  Uji Selulolitik

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, hampir semua isolat fungi positif mempunyai kemampuan menguraikan selulosa dengan kecepatan sedang hingga cepat. Hal ini ditandai dengan penampakan luas cincin yang lebih besar dari 5 cm pada suhu 28 oC dan 37 oC. Isolat fungi tersebut umumnya melepaskan RBB, menghilangkan RBB, dan sekaligus menghilangkan dan melepaskan RBB.

Menurut Basuki (1994), penggunaan senyawa RBB dilakukan karena molekul pewarna tersebut akan membentuk ikatan kovalen dengan unit molekul glukosa dari beberapa jenis polisakharida termasuk diantaranya selulosa. Fungi yang mempunyai kemampuan selulolitik apabila dikulturkan pada selulosa yang diberi pewarna RBB akan menghidrolisis selulosa dan melepas glukosa. Warna biru pada media disebabkan oleh pewarna RBB yang berwarna biru berikatan dengan molekul-molekul glukosa. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa fenomena yang mungkin terjadi dalam pengujian ini antara lain: (a) isolat mendegradasi selulosa dari selopan sehingga pada media terjadi pelepasan warna biru, dan media akan berwarna biru, atau (b) isolat merombak pewarna RBB pada selopan sehingga warna biru dari selopan hilang dan selopan menjadi berwarna putih, atau (c) isolat mendegradasi selulosa dari selopan dan juga merombak pewarna RBB (Gambar 2).

 



a                                                 b                                                 c

Gambar 3. Uji selulolitik dari salah satu isolat, (a) pelepasan RBB, (b) penghilangan RBB, dan (c) pelepasan dan penghilangan RBB

Ø  Uji lignolitik

 

Untuk mengetahui isolat dalam menguraikan lignin, dilakukan pengujian mengikuti metode Nishida et al. (1988) yang dimodifikasi. Bubuk kulit kayu mangium sebagai sumber lignin dihaluskan hingga 150 mesh. Area cincin cokelat yang terbentuk di sekitar koloni menunjukkan adanya kemampuan penguraian lignin. Gambar uji lignolitik dari salah satu isolat dapat dilihat pada Gambar 3. Parameter yang diamati pada hari ke tujuh adalah intensitas warna cokelat dari daerah cincin antara terang, sedang, atau gelap, kemudian diukur luasnya. Selanjutnya untuk menentukan isolat terpilih, yaitu yang dapat membentuk area cincin cokelat dengan intensitas warna gelap dengan luas yang melebihi 5,0 cm2. Berdasarkan pengamatan dari luas area cincin cokelat yang lebih dari 5 cm2, terpilih 7 isolat fungi yang diperkirakan potensial efektif mewakili kedua lokasi (PT. TEL Pulp dan Paper dan PT. IKPP)


  

 

Gambar 4. Uji lignolitik dari salah satu isolat (tanda panah menunjukkan lingkaran area cincin cokelat sebagai indikasi perkiraan isolat potensial yang efektif)

 

 

 

 


 

BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah :

1.      Dekomposer merupakan organisme yang menguraikan bahan organik menjadi anorganik untuk kemudian digunakan oleh produsen. Proses dekomposisi yaitu dilakukan oleh invertebrata, jamur, dan bakteri. Dimana organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian (hewan mati, atau jaringan tanaman menjadi busuk atau rusak) tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan oleh produsen.

2.      Proses dekomposisi dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu sifat bahan organik atau kualitas bahan baku, kondisi fisik dan kimia lingkungan.

3.      Organisme yang termasuk sebagai dekomposer diantaranya fungi (jamur), bakteri, cacing tanah, kaki seribu, kumbang kotoran, rayap, dll.

3.2    Saran

Adapun saran yang dapat diambil dari selesainya makalah ini adalah:

  • Dapat  memahami dan menjelaskan tentang decomposer dan prosesnya
  • Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang  sifatnya membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini.

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J.M, and. Swift, M.J. 1983. Decompositionin Tropical Rain forest: Ecology and Management. Special Publication No. 2. Eds. Sutton L, Whitmore TC, Chadwick AC. The British Ecological Society. Oxford: Blackwell Scientific Publication. 287-309.

Basuki, T. 1994. Biopulping, biobleaching dan biodegradasi limbah industri pulp kertas oleh jamur Basidiomycetes Phanerochaete chrysosporium. Laporan Penelitian PAU. Bioteknologi. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Bekti E, Surdianto Y. 2001. Pupuk kompos untuk meningkatkan produksi padi sawah. Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN) 15: 11-24

Endah, Sulistyawati., Mashita., Nusa., Choesin, D.N. (2008). Pengaruh Agen Decomposer Terhadap Kualitas Hasil Pengomposan Sampah Organik Rumah Tangga. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Penelitian Lingkungan diUniversitas Trisakti : Jakarta

Nishida, T., Y. Kashino, A. Mimura dan Y. Takahara. 1988. Lignin biodegradation by wood- rooting fungi. I. Screening oflignin degrading fungi. Mokuzai Gakkaishi, 34:530-536. Japan.

Prihandini, Ririen. 2004. Manajemen Sampah, Daur Ulang Sampah Menjadi Pupuk Organik. Penerbit PerPod. Jakarta.

Ruel, K dan F. Barnoud. 1985. Degradaton of Wood by Microorganisms. In T. Higuchi (ed). Byosynthetic and Biodefradation Wood Component. Academic Press, New York.

Saraswati, R. (2010). Bioaktivator Perombak Bahan Organik (Biodekomposer).

Sunarto. 2003. Peranan Dekomposisi dalam Proses Produksi pada Ekosistem Laut. Pengantar Falsafah Sains, Program Pascasarjana/S3 IPB. Bogor

Sutedjo. 1991. Peningkatan produksi dengan pupuk organik dan pupuk anorganik. UNILA. Lampung.

VosVCA, Ruijven JV, Berg MP, Peeters THM, Berendse F. 2013. Leaf litter quality drives litter mixing effect through complementary resource use among detritivores. Oecologia 173(1): 269–280. DOI: https://doi.org/ 10.1007/s00442-012-2588-1.