BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada
saat sekarang ini lahan pertanian semakin berkurang kesuburannya, Hal tersebut
dikarenakan penggunaan lahan dan pemakaian pupuk kimia yang terus menerus tanpa
diikuti upaya pemulihan
kesuburannya. Menurut Bekti (2001), struktur dan kesuburan tanah dapat
diperbaiki dengan penggunaan pupuk kompos. Umumnya pupuk kompos yang
dimanfaatkan petani saat ini adalah kompos dari sekam atau jerami padi, dan
sampah organik, Akan tetapi didalam pembuatannya membutuhkan waktu yang lama
apabila tidak dibantu dengan mikroorganisme Biodekomposer.
Biodekomposer
merupakan konsorsium mikroba yang berfungsi untuk menguraikan bahan organik,
sehingga materi yang diuraikan dapat diserap oleh tumbuhan yang hidup di
sekitar daerah tersebut. Terdapat beberapa dekomposer yang diantaranya berasal
dari bakteri, aktinomisetes, fungi, algae (ganggang), protozoa dan cacing
tanah. Agen dekomposer dapat digunakan untuk mempercepat dan meningkatkan
kualitas hasil pengomposan, dan telah diproduksi secara komersial, umumnya
dalam bentuk konsorsium mikroorganisme yang disebut dengan bioaktivator
pengomposan atau biodekomposer (Saraswati, 2010)
Teknologi
pengembangan bioaktivator pengomposan atau biodekomposer, biasa disebut dengan
teknologi efektif mikroorganisme, yaitu teknologi pencampuran kultur berbagai
jenis mikroorganisme yang bermanfaat (bakteri
fotosintetik, bakteri asam laktat, ragi, actinomycetes, dan jamur peragian)
yang dapat dimanfaatkan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman mikroba
tanah (Turista, 2010).
Menurut Prihandarini
(2004) proses pengomposan melibatkan jasad hidup tanah, proses pengomposan akan
terjadi lebih cepat dengan penambahan inokulan sebagai aktivator dari kultur
jasad hidup. Penambahan inokulan sebagai aktivator mempunyai pengaruh yang
menguntungkan, karena selain dapat mempercepat proses pengomposan juga dapat
meningkatkan kandungan unsur hara kompos.
Bakteri
yang selama ini keberadaanya jarang diperhitungkan ternyata dapat memberikan manfaat
yang besar bagi manusia. Kini sudah terpikirkan oleh para ekologiawan bahwa
tumbuhan dan hewan bersama-sama dengan seluruh lungkungannya membentuk suatu
sistem yang bekerja tergantung pada peran yang dimainkan oleh setiap komponen
dari sistem itu.
Sejauh
yang berkenaan dengan struktur ekosistem yang khas mempunyai tiga komponen
biologi yaitu produsen (jasad autotrof) atau tumbuhan hijau yang mampu menambat
energi cahaya, Hewan (jasad heterotrof) atau konsumen makro yang menggunakan
bahan organik dan dekomposer (pengurai) yang terdiri dari jasad renik yang menguraikan
bahan organik dan membebaskan zat hara terlarut.
Dekomposer
ini merupakan tingkat makanan utama yang terakhir dalam ekosistem. Kelompok ini
terutama terdiri dari jasad renik tanah seperti bakteri dan jamur. Walaupun
juga mencakup cacing tanah, rayap, tungau, kumbang dan anthrophoda lainnya
(Ewusie.J.Y.1990).
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apa
itu komposer ?
2.
Bagaimana
cara melakukan komposer ?
3.
Mikroba
apa yang terkait saat komposer ?
4.
Bagaimanakah
cara perbanyakan, isolasi dan seleksi dari mikroba komposer ?
5.
Bagaimana
cara aplikasi mikroba komposer di lapangan ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan
dari makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui apa itu komposer
2.
Untuk
mengetahui cara melakukan komposer
3.
Untuk
mengetahui mikroba apa yang terkait saat komposer
4.
Untuk
mengetahui cara perbanyakan, isolasi dan seleksi dari mikroba komposer
5.
Untuk
mengetahui cara aplikasi mikroba komposer di lapangan
BAB II
ISI
1.1 Komposer
Komposer adalah makhluk hidup yang berfungsi
untuk menguraikan bahan organik baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan,
sehingga materi yang diuraikan dapat diserap oleh tumbuhan yang hidup disekitar
daerah tersebut (Saraswati, 2007). Komposer atau pengurai adalah organisme yang
memakan organisme mati dan produk-produk limbah dari organisme lain. Komposer
membantu siklus nutrisi kembali ke ekosistem lainnya.
Komposer membuat tanah
kaya dengan menambahkan senyawa organik dengan itu zat seperti karbon, air dan
nitrogen dikembalikan ke ekosistem melalui tindakan pengurai. Yang
termasuk contoh pengurai (komposer) adalah serangga, cacing tanah, bakteri,
jamur, belatung, lactobacteria, kecoa, ragi, siput, lumut, dan actinomycetes. Komposer
atau pengurai adalah makhluk hidup yang memperoleh energi dengan cara
menguraikan sisa-sisa makhluk hidup yang telah mati. Selain pengurai dalam
komponen biotik berdasarkan cara hidupnya terdapat juga produsen dan konsumen.
Produsen berarti penghasil, artinya produsen mampu menghasilkan makanannya
sendiri dengan cara fotosintesis. Yang tergolong produsen adalah tumbuhan yang
berklorofil. Oleh karena itu tumbuhan hijau disebut autotrof. Contohnya Padi
sebagai produsen
Konsumen disebut pemakai, artinya makhluk hidup
tersebut memakan tumbuhan atau hewan lain untuk mendapatkan energi. Makhluk
hidup ini disebut heterotrof. Konsumen dibagi ke dalam dua tingkatan yaitu
Konsumen I dan II. Konsumen I disebut herbivora dan konsumen II disebut
karnivora. Contohnya konsumen I adalah jerapah dan konsumen II adalah singa.
Sehingga perbedaan antarara produsen, konsumen
dan komposer (pengurai) adalah sebagai berikut: Produsen: organisme yang
mendapat energi dari sinar matahari dengan memproduksi gula dan karbohidrat
sederhana lainnya. Konsumen: organisme yang mengkonsumsi organisme lain untuk
energi. Komposer: organisme yang mendapat energi dengan memecah organisme mati
ke nutrisi.
Dekomposer
merupakan organisme yang menguraikan bahan organik menjadi anorganik untuk
kemudian digunakan oleh produsen. Dekomposer dapat disebut juga sebagai
organisme detritivor atau pemakan bangkai. Contoh organisme dekomposer adalah
bakteri pembusuk dan jamur Pengurai (dekomposer) adalah kelompok mikroorganisme
berupa bakteri dan jamur yang bersifat saprobe ada juga yang menyebutnya
bersifat saprofit yang merombak atau menguaikan sisa-sisa jasad yang mati.
Tidak seperti hewan yang dapat makan makanan yang padat, jamur dan bakteri
dapat makanan dengan cara menyerap zat-zat organik dari bagian tubuh yang mati
diuraikan kembali menjadi zat-zat anorganik dengan menggunakan enzim pencernaan
yang selanjutnya di kembalikan lagi ke alam.
Hasil
perombakan tersebut dapat berupa remukan atau hancuran (detritus) yang
merupakan makanan dari detritivor, seperti belatung, rayap, siput, cacing
tanah, luing dan teripang. Hasil penguraian oleh kelompok pengurai ini berupa
zat mineral yang akan meresap ke dalam tanah. Zat-zat mineral itulah yang kelak
akan diambil oleh tumbuhan untuk disusun menjadi makanan. Dengan adanya
kelompok dekomposer (pengurai) ini banyak keuntungan yang didapatkan. Pertama,
tidak akan ada tumpukan bangkai hewan atau luruhan daun dan ranting pepohonan.
Kedua, tumbuhan dapat memperoleh zat hara yang diperlukan untuk mensintesis
makanan.
2.
Cara
Melakukan Komposer
Menurut Sutedjo et al. (1991) dekomposisi merupakan peristiwa
perubahan secara fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah
baik bakteri, fungi, dan hewan tanah lainnya. Peristiwa ini sering juga disebut
mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik yang berasal dari hewan
dan tanaman yang berubah menjadi senyawa - senyawa anorganik sederhana. Proses
dekomposisi ini penting dalam siklus ekologi sebagai salah satu asupan unsur
hara ke dalam tanah seperti disampaikan oleh Vos et al. (2013) bahwa proses
dekomposisi ini berperan penting dalam siklus karbon dan nutrisi lain.
Dekomposisi merupakan proses perubahan secara fisik
maupun secara kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah, dan terkadang
disebut mineralisasi. Dekomposisi merupakan
proses yang dinamis dan sangat dipengaruhi oleh keberadaan dekomposer baik jumlah
maupun diversitasnya.
Dekomposisi
adalah proses alami dari hewan mati atau jaringan tanaman menjadi busuk atau
rusak. Proses ini dilakukan oleh invertebrata, jamur dan bakteri. Organisme
pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan
yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Dekomposisi pada
kondisi lapang merupakan proses yang sangat kompleks. Proses dekomposisi ini
dikendalikan oleh tiga faktor utama yaitu sifat bahan organik atau kualitas
bahan baku, kondisi fisik dan kimia lingkungan seperti temperature, kelembapan
pH, unsur mineral, dan potensi redoks, serta komposisi organisme tanah.
Dekomposisi
(penguraian) oleh dekomposer di dalam ekosistem merupakan hasil kerjasama
antara kelompok mikroflora dan invertebrata. Tanpa kehadiran invertebrata
mikroflora dalam proses dekomposisi sangat lambat. Invertebrata telah diketahui
menstimulasi pertumbuhan mikrobia melalui fragmentasi substrat, merubah sifat
fisik dan kimia substrat serta melalui grazing (memakan mikrobia). Dengan kata
lain proses dekomposisi srcara tidak langsung dapat dicerminkan oleh komposisi,
dinamika, populasi dan aktivitas lain invertebrata.
Proses
dekomposisi dimulai dari proses penghancuran yang dilakukan oleh serangga kecil
terhadap tumbuhan dan sisa bahan organik mati menjadi ukuran yang lebih kecil.
Kemudian dilanjutkan dengan proses biologi yang dilakukan oleh bakteri dan
fungi untuk menguraikan partikel-partikel organik. Proses dekomposisi oleh
bakteri dan fungi sebagai dekomposer dibantu oleh enzim yang dapat menguraikan
bahan organik seperti protein, karbohidrat dan lain-lain.
Menurut Sunarto
(2003), kecepatan proses dekomposisi pada umumnya dipengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungan, yang dapat mermpengaruhi pertumbuhan dekomposer,
diantaranya adalah faktor iklim seperti curah hujan, kelembaban, intensitas
cahaya, suhu udara di sekitar daerah pengomposan dan kondisi lingkungan tempat
tumbuh organisme seperti suhu, air, pH, salinitas air, kandungan oksigen,
kandungan hara organik dan lain-lain. Pada proses dekomposisi, semua faktor
fisik, kimia, maupun biologis saling berinteraksi satu sama lain. Limbah
serasah dari pepohonan dan tanaman, seperti dedaunan dan ranting, memiliki
komposisi selulosa sebesar 45% dari berat kering bahan. Sedangkan hemiselulosa
menempati 20-30% dan sisanya adalah lignin. Selulosa merupakan polimer glukosa
dengan ikatan β-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa
suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida
heterogen dengan berat molekul rendah. Hemiselulosa relatif lebih mudah
dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa,
galaktosa, xilosa dan arabinosa. Lignin merupakan polimer dengan struktur
aromatik yang terbentuk melalui unit-unit penilpropan yang berhubungan secara
bersama oleh beberapa jenis ikatan yang berbeda. Lignin sulit didegradasi
karena strukturnya yang kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa
dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman.
2.1
Mikroba Komposer
Menurut Endah (2004), terdapat beberapa mikroba
dekomposer yang diantaranya berasal dari :
1. Bakteri. Bakteri yang hidup dalam tanah memegang peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan
produksi tanaman, sehubungan dengan
kemampuannya dengan mengikat N2 dari udara dan mengubah ammonium menjadi nitrat.
2. Aktinomisetes. Tiga genus dari aktinomisetes yang
baik berada dalam tanah,
yaitu species Nokordia, yang
sangat berhubungan dengan bakteri, terutama
pada Mycobakteria, Crynebakteri, species yang termasuk
genus Streptomyces dan Micromonospora
adalah lebih rapat hubungannya pada fungi.
3. Fungi. Termasuk ke dalamnya golongan- golongan besar antara lain golongan Fikomisetes, Askomisetes,
Hipomisetes atau cendawan imperfekti
dan Basidiomisetes.
4. Algae (ganggang). Merupakan tanaman mikroskopis, tanaman tingkat rendah yang mempunyai klorofil dengan
jaringan tubuh yang tidak berderferensiasi, tidak membentuk akar, batang dan
daun.
5. Protozoa. Protozoa makhluk hidup uniseluler, dengan ukuran yang
beragam antara 3 sampai 1.000 µm.
6. Cacing tanah. Manfaat cacing tanah sebagai agensia pendekomposer
dapat dijelaskan sebagai berikut :
a)
Dapat
mempercepat pelapukan sisa sisa tanaman.
b)
Kotoran
cacing dapat meningkatkan kesuburan tanah atau kadar NPK pada tanah yang di huninya.
c)
Lorong
- lorong yang dibuatnya dalam tanah
(terutama pada lapisan topsoil) memungkinkan masuknya udara sehat.
2.2
Cara
Perbanyakan, Isolasi dan Seleksi dari Mikroba Komposer
Cara perbanyakan, isolasi dan seleksi dari
mikroba komposer kami ambil dari jurnal yang berjudul : Isolasi Dan Seleksi
Mikroba Potensial Sebagai Aktivator Pengomposan Untuk Mendekomposisi Limbah
Kulit Acacia mangium oleh Gusmailina.
1. Tahap 1 (Eksplorasi, isolasi dan
seleksi)
Kegiatan
eksplorasi dilakukan pada habitat alami pada tumpukan serbuk dan kulit kayu
mangium di area PT. TEL Pulp & Paper, Muara Enim Palembang (Sumsel) dan PT.
IKPP (Indah Kiat Pulp & Paper) Perawang, Pekanbaru (Riau). Eksplorasi di beberapa
tempat yang diperkirakan mengandung mikroba dekomposer yang ditandai dengan
pembusukan atau pelapukan dari limbah kulit tersebut. Eksplorasi ada yang di
bagian permukaan, tengah dan bagian bawah tumpukan kulit pada beberapa tingkat
umur tumpukan dengan indikasi melalui warna spora yang terbentuk.
Ada
kelompok fungi yang menunjukkan spora dengan warna kemerahan, kebiruan,
kekuningan dan keputihan. Tetapi warna tersebut tidak menyolok, kecuali jika
dilihat dan diperhatikan secara teliti. Kondisi inipun jarang dijumpai karena
eksplorasi dilakukan pada musim kemarau.
Hasil eksplorasi dibawa ke laboratrium, dicuci,
dipisahkan lalu diencerkan secara bertingkat untuk ditumbuhkan pada media yang
sudah disediakan (metode Nishida et al., 1988).
Kemudian dilakukan isolasi dan screening dalam
beberapa tingkat untuk mendapatkan
isolat murni. Masing-masing sampel juga dianalisis kandungan C organik, dan N
untuk mengetahui tingkat pembusukan/pelapukan yang terjadi melalui nilai C/N
yang diperoleh. Pada tahap akhir pengujian, media dicampur dengan serbuk
kulit Acacia mangium, sehingga diperoleh
isolat mikroba yang diperkirakan berpotensi sebagai dekomposer kulit A.
mangium. Pengujian dilakukan beberapa tahap dengan 4 kali ulangan untuk
mendapatkan hasil yang tepat.
2. Tahap 2 (uji sellulolitik dan lignolitik)
a.
Kemampuan
selulolitik diuji secara kualitatif dengan mengikuti prosedur Poincelot dan Day
(1972) dan Moore et al. (1979) dengan
melihat pelepasan pewarna RBB dari selopan. Selopan yang telah diberi RBB
digunakan untuk mengetahui kemampuan isolat dalam mengurai selulosa, yang
diletakkan di atas medium agar. Isolat yang telah diinokulasi diinkubasi pada
suhu kamar dan suhu 37o C. Kemampuan selulolitik diamati setiap hari
selama seminggu dengan kriteria adanya pelepasan pewarna RBB dari selopan ke
dalam media dan/atau hilangnya pewarna RBB dari selopan.
Kemampuan
isolat dalam mengurai lignin diuji mengikuti metode Nishida et al. (1988) yang telah dimodifikasi
yaitu isolat ditumbuhkan pada medium yang ditambah dengan serbuk kulit kayu
mangium dengan ukuran 150 mesh dan 0.025 ml guaiakol. Kemudian diinkubasi pada
suhu kamar 37o C selama 7 hari. Pada hari ke 7 diamati intensitas
warna cokelat dari daerah cincin (terang, normal, gelap) yang terbentuk
disekitar koloni pada medium, lalu diukur luasnya dengan menggunakan
planimetri. Warna cokelat gelap dengan luas lebih dari 5 cm2 yang terbentuk
digunakan untuk menduga besarnya kemampuan lignolitik dari isolat tersebut.
Kriteria ini didasarkan atas asumsi bahwa makin besar kemampuan lignolitik dari
suatu isolat, maka makin banyak lignin yang didegradasi atau semakin banyak
fenol yang terbentuk sehingga makin gelap atau luas daerah cincin cokelat yang
terbentuk (Rayner dan Body, 1988).
Ø Eksplorasi Mikroba
Eksplorasi yang dilakukan di beberapa tempat
yang mengandung mikroba dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2 meliputi kondisi
keasaman/pH dan nisbah C/N dari masing-masing sampel yang berasal dari lokasi
eksplorasi yaitu PT. TEL dan PT. IKPP. Pada Tabel 3 dan 4 dapat diketahui hasil
isolasi dan seleksi mikroba asal PT. TEL dan PT. IKPP berdasarkan lokasi
eksplorasi. Sementara pada Gambar 1 dapat dilihat sebagian contoh isolat yang
berasal dari PT. TEL mencakup golongan bakteri (A) dan golongan fungi (B).
A B
Gambar 1. Contoh sebagian isolat golongan
bakteri (A) dan fungi (B).
Ø Isolasi dan Seleksi
Berdasarkan
pertumbuhan mikroba dari masing-masing isolat yang berasal dari PT. TEL
menunjukkan bahwa jumlah fungi yang terhitung berkisar antara (4–9) x 10 4
dan (2–5) x 10 6. hal yang sama juga terlihat
pada pertumbuhan mikroba
asal IKPP yaitu berkisar antara
(5-9) x104 sampai (3-6) x 106. Pertumbuhan bakteri lebih
banyak dijumpai pada intensitas
pengenceran
108, sedangkan pertumbuhan fungi banyak dijumpai
pada intensitas pengenceran 104. Isolasi dilakukan berdasarkan
intensitas pengenceran, bertujuan agar sel-sel mikroba lebih terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga
lebih mudah untuk melakukan isolasi
(Ruel and Barnoud, 1985; Away
dan Goenadi, 1995). Selain itu hasil yang diperoleh melalui cara pengenceran
lebih meyakinkan, terutama dalam hal kemurniannya. Pada Tabel 3 dan 4 dapat
dilihat hasil isolasi dan seleksi mikroba dari 2 lokasi yaitu PT. TEL dan PT.
IKPP dan masing- masing mencakup beberapa lokasi pengambilan contoh.
Tabel 3. Hasil isolasi dan seleksi mikroba asal
PT. TEL Palembang berdasarkan lokasi eksplorasi
No |
Kode Contoh (Sample
code) |
Jumlah
bakteri/ pada pengenceran (Number of bacteria at dilution intensity) |
Jumlah
fungi/ pada pengenceran (Number of fungi at dilution intensity) |
||
10 6 |
10 8 |
10 4 |
10 6 |
||
1 |
LFK |
45 |
13 |
6 |
2 |
2 |
LFB |
54 |
5 |
5 |
2 |
3 |
TP2 |
60 |
5 |
5 |
3 |
4 |
TP3 |
54 |
5 |
9 |
4 |
5 |
TP4 |
TBUD |
28 |
5 |
2 |
6 |
TP5 |
54 |
5 |
6 |
3 |
7 |
TP6A |
40 |
43 |
4 |
3 |
8 |
TP6LL |
TBUD |
92 |
8 |
5 |
9 |
TP6LD |
TBUD |
12 |
5 |
2 |
10 |
TPDA |
TBUD |
5 |
7 |
3 |
11 |
SB1 |
72 |
TBUD |
6 |
4 |
12 |
SBKT |
TBUD |
5 |
7 |
3 |
13 |
SBKTB |
TBUD |
26 |
5 |
3 |
14 |
SBKAT |
TBUD |
145 |
8 |
5 |
15 |
SBM |
TBUD |
36 |
6 |
4 |
Keterangan (Remarks): TBUD = Tidak bisa untuk
dihitung (uncountable)
Ø Uji Selulolitik
Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa, hampir semua isolat fungi positif mempunyai
kemampuan menguraikan selulosa dengan kecepatan sedang hingga cepat. Hal ini
ditandai dengan penampakan luas cincin yang lebih besar dari 5 cm pada suhu 28 oC
dan 37 oC. Isolat fungi tersebut umumnya melepaskan RBB,
menghilangkan RBB, dan sekaligus menghilangkan dan melepaskan RBB.
Menurut
Basuki (1994), penggunaan senyawa RBB dilakukan karena molekul pewarna tersebut
akan membentuk ikatan kovalen dengan unit molekul glukosa dari beberapa jenis polisakharida
termasuk diantaranya selulosa. Fungi yang mempunyai kemampuan selulolitik
apabila dikulturkan pada selulosa yang diberi pewarna RBB akan menghidrolisis
selulosa dan melepas glukosa. Warna biru pada media disebabkan oleh pewarna RBB
yang berwarna biru berikatan dengan molekul-molekul glukosa. Selanjutnya
dijelaskan juga bahwa fenomena yang mungkin terjadi dalam pengujian ini antara
lain: (a) isolat mendegradasi selulosa dari selopan sehingga pada media terjadi
pelepasan warna biru, dan media akan berwarna biru, atau (b) isolat merombak
pewarna RBB pada selopan sehingga warna biru dari selopan hilang dan selopan
menjadi berwarna putih, atau (c) isolat mendegradasi selulosa dari selopan dan
juga merombak pewarna RBB (Gambar 2).
a b c
Gambar
3. Uji selulolitik dari salah satu isolat, (a) pelepasan RBB, (b) penghilangan
RBB, dan (c) pelepasan dan penghilangan RBB
Ø Uji
lignolitik
Untuk
mengetahui isolat dalam menguraikan lignin, dilakukan pengujian mengikuti
metode Nishida et al. (1988) yang
dimodifikasi. Bubuk kulit kayu mangium sebagai sumber lignin dihaluskan hingga
150 mesh. Area cincin cokelat yang terbentuk di sekitar koloni menunjukkan
adanya kemampuan penguraian lignin. Gambar uji lignolitik dari salah satu
isolat dapat dilihat pada Gambar 3. Parameter yang diamati pada hari ke tujuh
adalah intensitas warna cokelat dari daerah cincin antara terang, sedang, atau
gelap, kemudian diukur luasnya. Selanjutnya untuk menentukan isolat terpilih,
yaitu yang dapat membentuk area cincin cokelat dengan intensitas warna gelap
dengan luas yang melebihi 5,0 cm2. Berdasarkan pengamatan dari luas
area cincin cokelat yang lebih dari 5 cm2, terpilih 7 isolat fungi
yang diperkirakan potensial efektif mewakili kedua lokasi (PT. TEL Pulp dan
Paper dan PT. IKPP)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah :
1. Dekomposer
merupakan organisme yang menguraikan bahan organik menjadi anorganik untuk
kemudian digunakan oleh produsen. Proses dekomposisi yaitu dilakukan oleh
invertebrata, jamur, dan bakteri. Dimana organisme pengurai menyerap sebagian
hasil penguraian (hewan mati, atau jaringan tanaman menjadi busuk atau rusak)
tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan oleh
produsen.
2. Proses dekomposisi
dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu sifat bahan organik atau kualitas
bahan baku, kondisi fisik dan kimia lingkungan.
3. Organisme
yang termasuk sebagai dekomposer diantaranya fungi (jamur), bakteri, cacing
tanah, kaki seribu, kumbang kotoran, rayap, dll.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat diambil dari selesainya makalah ini adalah:
- Dapat memahami dan menjelaskan tentang
decomposer dan prosesnya
- Penulis banyak berharap para pembaca
memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun kepada penulis
demi sempurnanya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J.M, and. Swift, M.J. 1983.
Decompositionin Tropical Rain forest: Ecology and Management. Special
Publication No. 2. Eds. Sutton L, Whitmore TC, Chadwick AC. The British
Ecological Society. Oxford: Blackwell Scientific Publication. 287-309.
Basuki, T. 1994. Biopulping, biobleaching dan
biodegradasi limbah industri pulp kertas oleh jamur Basidiomycetes
Phanerochaete chrysosporium. Laporan Penelitian PAU. Bioteknologi. Institut
Teknologi Bandung, Bandung.
Bekti E, Surdianto Y. 2001. Pupuk
kompos untuk meningkatkan produksi padi sawah. Lembar Informasi Pertanian
(LIPTAN) 15: 11-24
Endah, Sulistyawati., Mashita.,
Nusa., Choesin, D.N. (2008). Pengaruh Agen Decomposer Terhadap Kualitas Hasil
Pengomposan Sampah Organik Rumah Tangga. Makalah dipresentasikan pada Seminar
Nasional Penelitian Lingkungan diUniversitas Trisakti : Jakarta
Nishida, T., Y. Kashino, A. Mimura dan Y.
Takahara. 1988. Lignin biodegradation by wood- rooting fungi. I. Screening
oflignin degrading fungi. Mokuzai Gakkaishi, 34:530-536. Japan.
Prihandini, Ririen. 2004.
Manajemen Sampah, Daur Ulang Sampah Menjadi Pupuk Organik. Penerbit PerPod.
Jakarta.
Ruel, K dan F. Barnoud. 1985. Degradaton of
Wood by Microorganisms. In T. Higuchi (ed). Byosynthetic and Biodefradation
Wood Component. Academic Press, New York.
Saraswati, R.
(2010). Bioaktivator Perombak Bahan Organik (Biodekomposer).
Sunarto. 2003. Peranan Dekomposisi dalam Proses
Produksi pada Ekosistem Laut. Pengantar Falsafah Sains, Program Pascasarjana/S3
IPB. Bogor
Sutedjo. 1991. Peningkatan produksi dengan pupuk organik dan pupuk anorganik. UNILA. Lampung.
VosVCA, Ruijven JV, Berg MP, Peeters THM, Berendse F. 2013. Leaf litter quality drives litter mixing effect through complementary resource use among detritivores. Oecologia 173(1): 269–280. DOI: https://doi.org/ 10.1007/s00442-012-2588-1.