Makalah Lengkap Mikroba Pelarut Fosfat

Written By Media Pertanian on Friday, August 12, 2022 | 2:47 PM

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang

Unsur fosfat (P) adalah unsur esensial kedua setelah N yang ber- peran penting dalam fotosintesis dan perkembangan akar. Ketersediaan fosfat dalam tanah jarang yang melebihi 0,01% dari total P. Sebagian besar bentuk fosfat terikat oleh koloid tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Tanah dengan kandungan organik rendah seperti Oksisols dan Ultisols yang banyak terdapat di Indonesia kandungan fosfat dalam organik bervariasi dari 20-80%, bahkan bisa kurang dari 20% tergantung tempat. Demikian juga kebanyakan lahan sawah di Indonesia telah jenuh fosfat. Fosfat tersebut tidak dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh tanaman, karena fosfat dalam bentuk P-terikat di dalam tanah, sehingga petani tetap melakukan pemupukan P di lahan sawah walaupun sudah terdapat kandungan P yang cukup memadai.

Fosfat merupakan salah satu unsur makro esensial bagi kehidupan tumbuhan dan biota tanah (Raharjo dkk., 2007). Kesuburan tanah, ketersediaan unsur hara esensial seperti fosfat, keberadaan akan mikroba yang berperan dalam proses pelarutan fosfat di dalam tanah mempengaruhi tingkat produksi dalam bidang pertanian (Ilham dkk., 2014). Fosfat sebenarnya terdapat dalam jumlah yang melimpah dalam tanah, namun sekitar 95-99% terdapat dalam bentuk fosfat tidak terlarut sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman (Raharjo dkk., 2007).

Ketersediaan fosfat bagi tanaman dapat ditanggulangi dengan agen hayati berupa mikroorganisme yang mampu melarutkan fosfat di tanah secara alami (biofertilizer) (Ulfiyati dan Zulaika, 2015). Dalam hal ini suplai sebagian unsur hara yang dibutuhkan tanaman dapat dilakukan oleh mikroba pelarut fosfat (Wardhani dkk., 2014). Sebagian besar mikrobia tanah berpotensi sebagai biofertilizer, terutama mikrobia yang hidup pada daerah perakaran (rhizosphere) (Widawati dkk., 2008). Mikroba pelarut fosfat sering ditemukan berasosiasi di dalam tanah rizosfer. Mikroba rizosfer adalah salah satu alternatif yang dapat membantu pertumbuhan tanaman, produktivitas tanaman, dan kualitas tanaman pada lahan yang kurang subur seperti lahan dengan pH rendah. Bakteri rizosfer dapat meningkatkan ketersediaan nutrisi anorganik untuk tanaman (Campbell, 1995).

Fosfat di dalam tanah ditemukan dalam bentuk organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Aktivitas mikroba pelarut fosfat dapat dimanfaatkan untuk penyediaan unsur hara fosfat bagi tanaman. Peningkatan ketersediaan unsur P ini disebabkan karena mikroba pelarut fosfat mampu mengeluarkan asam-asam organik seperti asam sitrat, glutamate, suksinat dan glioksalat yang dapat mengkhelat Fe, Al, Ca, dan Mg sehingga fosfor yang terikat menjadi larut dan tersedia (Permatasari dan Nurhidayati, 2014). Pada tanah-tanah masam, fosfat akan bersenyawa dalam bentuk-bentuk Al-P, Fe-P, dan occluded-P, sedangkan pada tanah-tanah alkali, fosfat akan bersenyawa dengan kalsium (Ca) sebagai Ca-P membentuk senyawa kompleks yang sukar larut.

Adanya pengikatan-pengikatan fosfat tersebut menyebabkan pupuk fosfat yang diberikan tidak efisien, sehingga perlu diberikan dalam takaran tinggi. Pemberian pupuk fosfat ke dalam tanah, hanya 15-20% yang dapat diserap oleh tanaman. Sedangkan sisanya akan terjerap di antara koloid tanah dan tinggal sebagai residu dalam tanah (Buckman dan Brady, 1956; Jones, 1982). Hal ini akan menyebabkan defisiensi fosfat bagi pertumbuhan tanaman.

Salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat dalam mengatasi rendahnya fosfat tersedia dalam tanah adalah dengan memanfaatkan kelompok mikroorganisme pelarut fosfat, yaitu mikro- organisme yang dapat melarutkan fosfat tidak tersedia menjadi tersedia sehingga dapat diserap oleh tanaman. Pemanfaatan mikro-organisme pelarut fosfat diharapkan dapat mengatasi masalah P pada tanah masam (Sundara Rao dan Sinha, 1963; Asea et al., 1988; Saleh et al., 1989).

Berdasarkan hal tersebut sehingga makalah ini disusun untuk memberikan informasi terkait dengan mikroba pelarut fosfat.

1.2         Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud mikroba pelarut fosfat?

2.      Bagaimana penyebaran mikroba pelarut fosfat?

3.      Bagaimana mekanisme kerja mikroba fosfat?

4.      Bagaimana pengaruh mikroba perlarut fosfat terhadap pertumbuhan tanaman?

1.3         Tujuan

1.      Untuk mengetahui mikroba pelarut fosfat.

2.      Untuk mengetahui penyebaran pelarut fosfat.

3.      Untuk mengetahui mekanisme kerja mikroba fosfat.

4.      Untuk mengetahui pengaruh mikroba pelarut fosfat terhadap pertumbuhan tanaman.


 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1         Mikroba Pelarut Fosfat

Bakteri pelarut fosfat (BPF) merupakan kelompok mikroorganisme tanah yang berkemampuan melarutkan P yang terfiksasi dalam tanah dan mengubahnya menjadi bentuk yang tersedia sehingga dapat diserap tanaman. Mikroorganisme pelarut fosfat ini dapat berupa bakteri (Pseudomonas, Bacillus, Escheria, Actinomycetes, dan lain lain). Sekitar sepersepuluh sampai setengah jumlah baketri yang diisolasi dari tanah mampu melarutkan fosfat, jumlah bakteri tersebut berkisar 105 – 107 per gram tanah adan banyak dijumpai di  daearah  perakaran  tanaman.  Menurut Rodriquezz dan Fraga (1999) dari beberapa  strain  bakteri, ternyata genus Pseudomonas dan Bacillus mempunyai kemampuan yang tinggi dalam melarutkan fosfat.

Sen dan Paul (1957) menggunakan fosfobakterin galur fosfo 24, Bacillus substilis, Bacterium mycoides, dan B. mesenterricus untuk melarutkan P organik (glisero fosfat, lesitin, tepung tulang) dan P anorganik (Ca-P, Fe-P) yang dilakukan secara in vitro. Hasilnya menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu melarutkan FePO4, Ca3(PO4)2, gliserofosfat, lesitin, dan tepung tulang berturut-turut sebanyak 2-7, 3-9, 3-13, 5-21, dan 14%. Banik (1982) memanfaatkan Bacillus sp dan dua galur Bacillus firmus, hasil percobaannya menunjukkan bahwa ketiga bakteri tersebut masing-masing hanya mampu melarutkan berturut-turut 0.3, 0.9, dan 0.3% dari senyawa Ca3(PO4)2 yang diberikan, dan tidak mampu melarutkan AlPO4 dan FePO4.

Sundara Rao dan Sinha (1962) mengidentifikasikan beberapa mikroba pelarut P dari lapisan perakaran tanaman gandum. Mikroba tersebut adalah Bacillus megaterium, Bacillus sp, Escherechia freundii, dan E. intermedia. Supadi (1991) juga mendapatkan anggota-anggota Escherechia yang dapat melarutkan P dari lapisan perakaran tanaman jagung. Bakteri-bakteri tersebut meningkatkan P tersedia sebanyak 0.8-3.7 ppm pada tanah non steril dan 0.1-3.6 ppm pada tanah steril.

Penelitian dengan jamur sebagai mikroba pelarut P juga telah banyak dilakukan, jenis jamur yang paling banyak diteliti adalah Aspergillus sp dan Penicillium sp. Kelompok Penicillium sp mampu melarutkan 26-40% Ca3(PO4)2, sedangkan Aspergillus sp melarutkan 18% (Chonkar dan Subba Rao, 1967). Asam sitrat yang dihasilkan oleh Aspergillus awamori berperanan dalam pelarutan Ca-P. Aspergillus fumigatus dan Aspergillus candidus yang diteliti oleh Banik (1982) menunjukkan kemampuan yang jauh melebihi fosfobakterin dalam melarutkan Ca3(PO4)2, AlPO4 dan FePO4, sedangkan Aspergillus niger yang diteliti olah Anas et al. (1993) dan Lestari (1994) sangat baik dalam meningkatkan P larut dari media batuan fosfat, yakni lebih dari 10 kali lipat.

2.2         Penyebaran Mikroba Pelarut Fosfat

Umumnya mikroorganisme pelarut fosfat secara alami berada di tanah berkisar 0,1-0,5% dari total populasi mikroorganisme (Kucey, 1983). Populasi mikroorganisme pelarut fosfat dari kelompok bakteri jauh lebih banyak dibandingkan dengan kelompok fungi. Jumlah populasi bakteri pelarut fosfat dapat mencapai 12 juta organisme per gram tanah sedangkan fungi pelarut fosfat hanya berkisar dua puluh ribu sampai dengan satu juta per gram tanah (Alexander, 1977).

Mikroorganisme ini hidup terutama di sekitar perakaran tanaman, yaitu di daerah permukaan tanah sampai kedalaman 25 cm dari permukaan tanah. Keberadaan mikroorganisme ini berkaitan dengan banyaknya jumlah bahan organik yang secara langsung mempengaruhi jumlah dan aktivitas hidupnya. Akar tanaman mempengaruhi kehidupan mikroorganisme dan secara fisiologis mikroorganisme yang berada dekat dengan daerah perakaran akan lebih aktif daripada yang hidup jauh dari daerah perakaran.

Keberadaan mikroorganisme pelarut fosfat dari suatu tempat ke tempat lainnya sangat beragam. Salah satu faktor yang menyebabkan keragaman tersebut adalah sifat biologisnya. Ada yang hidup pada kondisi asam, dan ada pula yang hidup pada kondisi netral dan basa, ada yang hipofilik, mesofilik, dan termofilik, ada yang hidup sebagai aerob dan ada yang anaerob, dan beberapa sifat lain yang bervariasi. Masing-masing mikroorganisme memiliki sifat-sifat khusus dan kondisi lingkungan optimal  yang berbeda-beda yang mempengaruhi efektivitasnya melarutkan fosfat.

Pertumbuhan mikroorganisme pelarut fosfat sangat dipengaruhi oleh kemasaman tanah. Pada tanah masam, aktivitas mikroorganisme didominasi oleh kelompok fungi sebab pertumbuhan fungi optimum pada pH 5-5,5. Pertumbuhan fungi menurun bila pH meningkat. Fungi dalam tanah berbentuk miselium vegetatif ataupun spora (Waksman dan Starkey, 1981). Miselium atau filamen fungi tersebar di antara partikel tanah dan tersusun dalam hifa-hifa, ada yang bersepta dan ada yang tidak.

Sebaliknya pertumbuhan kelompok bakteri optimum pada pH sekitar netral dan meningkat seiring dengan meningkatnya pH tanah. Secara umum bakteri pelarut fosfat yang dominan yang diisolasi dari rizosfer tanah termasuk ke dalam golongan mikroorganisme aerob pembentuk spora (Taha et al., 1969), hidup pada kisaran pH 4-10,6 (Sen dan Paul, 1957).

Populasi bakteri pelarut fosfat umumnya lebih rendah pada daerah yang beriklim kering dibandingkan dengan daerah yang beriklim sedang. Karena bentuk dan jumlah fosfat dan bahan organik yang terkandung dalam tanah berbeda-beda, maka keefektifan tiap mikro-organisme pelarut fosfat untuk melarutkan fosfat berbeda pula. Penggunaan mikroorganisme pelarut fosfat masih menghadapi beberapa kendala seperti faktor tanah, karena setiap jenis tanah mempunyai bentuk fosfat yang berbeda-beda antara lain pada lahan masam bentuk fosfat didominasi oleh Al-P, Fe-P atau occluded- P sedangkan pada lahan basa didominasi oleh bentuk Ca-P. Jadi masing- masing lahan seperti itu memerlukan inokulan pelarut fosfat yang berbeda.

Penelitian jasad renik pelarut P juga banyak dilakukan di India, Kanada, dan Mesir dengan tujuan untuk melarutkan endapan-endapan Ca-fosfat (Sen dan Paul, 1957; Kundu dan Gaur, 1980; Subba Rao, 1977; 1982). Pemanfaatan jamur tanah yang lebih dominan pada pH rendah juga memperoleh perhatian peneliti tersebut. Das (1963) melaporkan bahwa beberapa Aspergillus sp dan Penicillium sp mampu melarutkan Al-P dan Fe-P. Jenis jamur yang lain adalah Sclerotium dan Fusarium (Alexander, 1978). Bakteri yang sering dilaporkan dapat melarutkan P antara lain adalah anggota-anggota genus Pseudomonas, Bacillus, Mycobacterium, Micrococcus, Flavobacterium, Bacterium, Citrobacter, dan Enterobacter (Alexander, 1978; Buntan, 1992; Premono, 1994; Illmer et al., 1995; Elfiati, 2005).

2.3         Mekanisme Kerja Mikroba Pelarut Fosfat

Fosfor relatif tidak mudah tercuci, tetapi karena pengaruh lingkungan maka statusnya dapat berubah dari P tersedia bagi tanaman menjadi tidak tersedia, yaitu dalam bentuk Ca-P, Mg-P, Al-P, Fe-P atau Occuded-P. dalam aktivitasnya mikroba pelarut P akan menghasilkan asam-asam organic diantaranya ialah asam sitrat, glutamate, sukimat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarate, tartarat dan α-ketobutirat (Alexander, 1978; Subba Rao, 1994; Illmer et al., 1995; Beaucamp dan Hume, 1997). Meningkatnya asam-asam organic tersebut biasanya diikuti dengan penurunan pH, sehingga mengakibatkan terjadinya pelarutan P yang terikat Ca. penurunan pH juga dapat disebabkan terbebasnya asam sulfat dan nitrat pada oksidasi kemoautotrofik sulfur dan ammonium, berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus dan Nitrosomonas (Alexander, 1978).

Mekanisme mikroorganisme dalam melarutkan P tanah yang terikat dan P yang berasal dari alam diduga karena asam-asam organic yang dihasilkan akan bereaksi dengan AlPO4, FePO4, dan Ca(PO4)2, dari reaksi tersebut terbentuk khelat organik dari Al, Fe, dan Ca sehingga P terbebaskan dan larut serta tersedia untuk tanaman (Subba rao, 1982b; Illmer et al., 1995). Menurut Illmer dan Schinner (1995) , jenis bakteri (Pseudomonas sp dan Pseudomonas aurantiogesum) lebih efektif dalam melarutkan P dalam bentuk Ca-P seperti apatit dan brushit, sedangkan jenis fungi (Aspergillus niger dan Penicillum simplicissimum) lebih efektif dalam melarutkan P dari bentuk Al-P.

IIImer dan Schinner (1995) menyatakan bahwa mekanisme pelarutan fosfat dari bahan yang sukar larut banyak dikaitkan dengan aktivitas mikroba yang mempunyai kemampuan menghasilkan enzim fosfatase, fitase, dan asam organik hasil metabolisme seperti asam asetat, propionat, glikolat, fumarat, oksalat, suksinat, tartrat, sitrat, laktat, dan ketoglutarat. Tetapi pelarutan P dapat pula dilakukan oleh mikroorganisme yang tidak menghasilkan asam organik, yaitu melalui, (1) mekanisme pelepasan proton (ion H+) pada proses respirasi, (2) asimilasi amonium (NH4 +), dan (3) adanya kompetisi antara anion organik dengan ortofosfat pada permukaan koloid yang dapat pula menyebabkan terjadinya movilizáis ortofosfat (IIImer dan Schinner (1995).

Menurut Narsian dan Patel (2000) pelarutan P oleh mikroorganisme pelarut fosfat selain terjadi karena proses kelasi dan reaksi pertukaran, juga disebabkan oleh menurunnya pH rizosfer akibat adanya asam oragnik. Sebelumnya Kirk (1999) berpendapat bahwa mekanisme utama agar tanaman dapat mengekstrak P dari sumbersumber yang tidak dapat larut terjadi melalui: produksi asam organic yang dapat menyebabkan pH rizosfer menurun (penurunan pH itu menjadi penting jika banyak asam organik yang diekskresikan). Produksi asam organik yang dapat berkompetisi dengan P pada tempat adsorpsi, dan produksi asam organik dapat membentuk kompleks yang dapat larut dengan ion logam dan membebaskan P. Tan (1995) menyatakan bahwa selain enzim fosfatase yang dihasilkan oleh BPF yang dapat menghasilkan fosfat bebas, ada pula lain lain yaitu enzim fitase, firofosfatase, dan metafosfatase.

2.4         Pengaruh Mikroba Pelarut Fosfat terhadap Pertumbuhan Tanaman

Pada tanaman jagung, Citrobacter intermedium dan Pseudomonas putida (Premono et al., 1991) mampu meningkatkan serapan P tanaman dan bobot kering tanaman sampai 30%. Pada percobaan yang lain (Buntan, 1992; Premono dan  Widyastuti, 1993), P. putida mampu meningkatkan bobot kering tanaman jagung sampai 20%, dan mikroba ini stabil sampai lebih dari 4 bulan pada media pembawa zeolit, tanpa kehilangan kemampuan genetisnya dalam melarutkan batuan fosfat. Inokulasi dengan Enterobacter gergoviae (Buntan, 1992) pada tanaman jagung dapat meningkatkan bobot kering tanaman jagung sebesar 29%, sedangkan Lestari (1994) yang menguji Aspergillus niger, menunjukkan bahwa mikroba tersebut sangat baik dalam memperbaiki penampilan pertumbuhan tanaman jagung sampai 8 minggu pertama.

Pada tanaman tebu penggunaan bakteri pelarut P (P. putida dan P. fluorescens) dapat meningkatkan bobot kering tanaman sebesar 5-40% dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P asal TSP sebanyak 60-135% (Premono, 1994). Penelitian Setiawati (1998) pada tanaman tembakau, dengan menginokulasikan bakteri pelarut P dapat meningkatkan serapan P dan bobot kering tanaman.

Pal (1998) melaporkan bahwa bakteri pelarut P (Bacillus sp.) pada tanah yang dipupuk dengan batuan fosfat dapat meningkatkan jumlah dan bobot kering bintil akar serta hasil biji tanaman pada beberapa tanaman yang toleran masam (jagung, bayam, dan kacang panjang). Menurut Dubey (1997) inokulasi dengan P. striata dengan penambahan superfosfat maupun batuan fosfat dapat meningkatkan pembentukan bintil dan serapan N pada tanaman kedelai dan bakteri ini dapat dikokulturkan dengan Bradyrhizobium japonicum tanpa efek yang merugikan.

Beberapa peneliti mengemukakan bahwa efektifnya bakteri pelarut P tidak hanya disebabkan oleh kemampuannya dalam meningkatkan ketersediaan P tetapi juga disebabkan karena kemampuannya dalam menghasilkan zat pengatur tumbuh, terutama oleh mikroba yang hidup pada permukaan akar seperti Pseudomonas fluorescens, P. putida dan P. striata. Mikroba-mikroba tersebut dapat menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti asam indol asetat (IAA) dan asam giberelin (GA3) (Arshad dan Frankenberger, 1993; Patten dan Glick, 1996).

Beberapa bakteri pelarut fosfat juga dapat berperan sebagai biokontrol yang dapat meningkatkan kesehatan akar dan pertumbuhan tanaman melalui proteksinya terhadap penyakit. Strain tertentu dari Pseudomonas sp dapat mencegah tanaman dari patogen fungi yang berasal dari tanah dan potensial sebagai agen biokontrol untuk digunakan secara komersial di rumah kaca maupun di lapangan (Arshad dan Frankenberger, 1993). Pseudomonas fluorescens dapat mengontrol perkembangan penyakit dumping-off dari tebu. Kemampuan bakteri ini terutama karena menghasilkan 2,4-diacethylphloroglucinol, suatu metabolit sekunder yang dapat menghalangi dumping-off Phytium ultium (Frenton et al., 1992). Di samping itu bakteri P. fluorescens ini juga dapat mengontrol perkembangan jamur Sclerotium roefsii pada tanaman kacang-kacangan.

Herman dan Pranowo (2013) dalam penelitiannya yaitu pengaruh mikroba pelarut fosfat terhadap pertumbuhan dan serapan hara P pada benih kakao memiliki pengaruh yang nyata dibanding dengan perlakuan lainnya. Hasil penelitian disajikan sebagai berikut.

Tabel 1. Pertambahan tinggi benih kakao umur 3, 6, 9 dan 12 minggu setelah perlakuan




Sumber: Herman dan Pranowo, 2013.


Tabel 2. Serapan P oleh benih kakao setelah 12 minggu setelah tanam         

 

 

 

 

 

Sumber: Herman dan Pranowo, 2013.

Beberapa mekanisme pelarutan P oleh mikroba pelarut fosfat (MPF) adalah dengan pelepasan asam organik dan anorganik, dan ekskresi proton yang menyertai asimilasi NH4+. Selain itu, juga terdapat mekanisme pelepasan enzim fosfatase yang memineralisasi P organik (Vega, 2007). Bakteri pelarut fosfat dapat memproduksi beberapa asam organik seperti asam monokarboksilat (asetat, format), monokarboksilat hidroksi (laktat, glukonat, dan glikolik), monocarboxylic, ketoglukonat, dekarboksilat (oksalat dan suksinat), dikarboksilat hidroksi (malat dan maleat) dan asam trikarboksilat hidroksi (sitrat) (Ramkumar dan Kannapiran, 2011). Bakteri pelarut fosfat juga dapat menghasilkan fitohormon seperti Indole Acetic Acid (IAA) dan Gibberellic Acid (GA3), produksi siderofor, dan antagonis terhadap patogen (Nenwani et al., 2010; Ramkumar dan Kannapiran, 2011; Parani dan Saha, 2012).

Beberapa hasil penelitian penggunaan mikroba pelarut P pada berbagai jenis tanaman menunjukkan hasil yang positif terhadap pertumbuhan dan serapan hara. Penggunaan mikroba pelarut P seperti Bacillus pantotheticus, Klebsiella aerogenes, Chromobacterium lividum, dan Bacillus megaterium pada tanaman caysin (Brassica caventis Oed.) menghasilkan bobot daun segar dan bobot tanaman segar (Widawati dan Suliasih, 2006). Aplikasi inokulum mikroba pelarut P yang disertai dengan pupuk anorganik NPK 50% dari takaran optimal pada benih lada (Piper nigrum L.) memberikan pengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah cabang serta dapat meningkatkan bobot segar dan kering tajuk, serapan hara N, P, dan K (Herman et al., 2012). Penggunaan MPF yang dikombinasikan dengan guano kelelawar dan kompos daun gamal dapat meningkatkan tinggi tanaman sebanyak 70,83%, jumlah cabang sebesar 153,20%, dan jumlah daun 92,26% dibandingkan kontrol dan terdapat interaksi yang nyata antara MPF, guano kelelawar, dan kompos daun glirisida terhadap peningkatan tinggi tanaman, jumlah cabang, dan jumlah daun lada perdu (Ruhnayat, 2007). Goenadi et al. (1997) menemukan bahwa penggunaan pupuk hayati emas (PHE) sebanyak 50 kg per hektar dan 50 % pupuk anorganik pada tanaman karet menghasilkan produksi lateks lebih tinggi dibanding hanya menggunakan pupuk inorganik saja. PHE adalah pupuk hayati yang mengandung mikroba penambat N dan P. Hasil penelitian Nasaruddin (2012) menunjukkan bahwa inokulasi Azotobacter dan mikoriza, keduanya merupakan mikroba pelarut P, berkorelasi positif secara linier dengan pertumbuhan benih kakao dan berkorelasi positif kuadratik dengan bobot kering akar benih kakao sampai umur 4 bulan setelah tanam.


 

BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari makalah diatas, dapat disimbulkan bahwa:

1.      Bakteri pelarut fosfat (BPF) merupakan kelompok mikroorganisme tanah yang berkemampuan melarutkan P yang terfiksasi dalam tanah dan mengubahnya menjadi bentuk yang tersedia sehingga dapat diserap tanaman.

2.      Mikroba pelarut fosfat hidup di sekitar perakaran tanaman, yaitu di daerah permukaan tanah sampai kedalaman 25 cm dari permukaan tanah. Keberadaan mikroorganisme ini berkaitan dengan banyaknya jumlah bahan organik yang secara langsung mempengaruhi jumlah dan aktivitas hidupnya.

3.      Mekanisme pelarutan fosfat dari bahan yang sukar larut banyak dikaitkan dengan aktivitas mikroba yang mempunyai kemampuan menghasilkan enzim fosfatase, fitase, dan asam organik hasil metabolisme seperti asam asetat, propionat, glikolat, fumarat, oksalat, suksinat, tartrat, sitrat, laktat, dan ketoglutarat.

4.      Mikroba pelarut fosfat dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui proses fiksasi P yang tidak tersedia menjadi tersedia sehingga penyerapan unsur hara P dapat meningkat, selain itu bakteri pelarut fosfat juga dapat menghasilkan fitohormon seperti Indole Acetic Acid (IAA) dan Gibberellic Acid (GA3), produksi siderofor, dan antagonis terhadap patogen.

3.2  Saran

Dengan melihat peranan mikroba dalam menyediakan unsur hara fosfor, maka perlu dikaji lebih mendalam terkait jenis-jenis mikroba yang bermanfaat bagai tanaman.


 

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, M. 1978. Introduction to Soil Microbiology. 2nd ed. Willey Eastern Limited. New Delhi.

Arshad, M and W.T. Frankenberger. 1993. Microbial production of plant growth regulators. In. F.B. Metting (ed). Soil Microbial Ecology. Marcel Dekker,Inc. New York, Basel, Hongkong. p 307-347.

Beauchamp, E.G and D.J. Hume. 1997. Agricultural soil manipulation: The use of bacteria, manuring and plowing. In J.D. van Elsas., J.T. Trevors and E.M.H. Wellington (eds). Modern Soil Microbiology. Marcel Dekker, New York. p 643-664.

Buntan, A. 1992. Efektifitas bakteri pelarut fosfat dalam kompos terhadap peningkatan serapan P dan efisiensi pemupukan P pada tanaman jagung. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Dubey, S.K. 1997. Co-inoculation of phosphorus bacteria with Bradyrhizobium japoniucum to increase phosphate availability to rainfed soybean on Vertisol. J. Indian Soc. Soil Sci. 45: 506-509.

Goenadi, D. H., R. Stakaranwati, Y. Away, dan Herman. 1997. Produksi Biofertilizer untuk Efisiensi Penggunaan Pupuk dalam Budidaya Tanaman yang Aman Lingkungan. Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan. Bogor.

Herman M. dan D. Pranowo. 2013. Pengaruh Mikroba Pelarut Fosfat terhadap Pertumbuhan dan Serapan Hara P Benih Kakao (Theobroma cacao L.). Buletin Ristri 4 (2): 129-138.

Herman, M., K. D. Sasmita, dan D. Pranowo. 2012. Pemanfaatan mikroba rizosfer untuk meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara pada tanaman lada. Buletin Riset Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri 3 (2): 143-150.

Illmer, P., A. Barbato and F. Schinner. 1995. Solubilizing of hardly soluble AlPO4 with P-solubilizing microorganism. Soil Biol. Biochem. 27:265-270.

Lestari, P. 1994. Pengaruh fungi pelarut fosfat terhadap serapan hara P dan pertumbuhan tanaman jagung. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Nasaruddin. 2012. Respon pertumbuhan benih kakao terhadap inokulasi Azotobacter dan mikoriza. J. Agrivigor 11 (2): 300-315.

Nenwani, V., P. Doshi, T. Saha, dan S. Rajkumar. 2010. Isolation and characterization of a fungal isolate for phosphate solubilization and plant growth promoting activity. Journal of Yeast and Fungal Research 1 (1): 009-014.

Pal, S.S. 1998. Interaction of an acid tolerant strain of phosphate solubilizing bacteria with a few acid tolerant crops. Plant Soil. 198: 169-177.

Parani, K. dan B. K. Saha. 2012. Prospects of using phosphate solubilizing Pseudomonas as bio fertilizer. European Journal of Biological Sciences 4 (2): 40-44.

Patten, C.L and B.R. Glick. 1996. Bacterial biosyntesis of indole-3-acetic acid. Can. J. Microbiol 42:207-220.

Premono, E.M. 1994. Jasad renik pelarut fosfat, pengaruhnya terhadap P tanah dan efisiensi pemupukan P tanaman tebu. Disertasi. Program Pascasarjana IPB.

Raharjo, B, A. Suprihadi, Agustina D.K. 2007. Pelarutan fosfat anorganik oleh kultur campur jamur pelarut fosfat secara in vitro. Jurnal Sains & Matematika 15 (2): 45-54.

Ramkumar, S. dan E. Kannapiran. 2011. Isolation of total heterotrophic bacteria and phosphate solubilizing bacteria and in vitro study of phosphatase activity and production of phytohormones by PSB. Archives of Applied Science Research 3 (5): 581-586.

Ruhnayat, A. 2007. Pemanfaatan Pupuk Bio dan Pupuk Alam untuk Mendukung Budidaya Organik Pada Tanaman Lada dan Vanili. http://balittro.litbang.deptan.go.id. Diakses 30 Oktober 2020.

Setiawati, T.C. 1998. Efektifitas mikroba pelarut P dalam meningkatkan ketersediaan P dan pertumbuhan tembakau Besuki Na-Oogst (Nicotiana tabacum L.). Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor.

Subba Rao, N.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi ke dua. Terjemahan Herawati Susilo. UI Press.

Vega, N. W. O. 2007. A review on beneficial effects of rhizosphere bacteria on soil nutrient availability and plant nutrient uptake. Revista Facultad Nacional de Agronomía -Medellín 60 (1): 3621-3643.

Widawati, S. dan Suliasih. 2006. Augmentasi bakteri pelarut fosfat (BPF) potensial sebagai pemacu pertumbuhan caysin (Brasica caventis Oed.) di tanah marginal. Biodiversitas 7 (1): 10-14.