BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Unsur fosfat (P) adalah unsur esensial kedua setelah N yang ber-
peran penting dalam fotosintesis dan perkembangan akar. Ketersediaan fosfat
dalam tanah jarang yang melebihi 0,01% dari total P. Sebagian besar bentuk
fosfat terikat oleh koloid tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Tanah
dengan kandungan organik rendah seperti Oksisols dan Ultisols yang banyak
terdapat di Indonesia kandungan fosfat dalam organik bervariasi dari 20-80%,
bahkan bisa kurang dari 20% tergantung tempat. Demikian juga kebanyakan lahan
sawah di Indonesia telah jenuh fosfat. Fosfat tersebut tidak dapat dimanfaatkan
semaksimal mungkin oleh tanaman, karena fosfat dalam bentuk P-terikat di dalam
tanah, sehingga petani tetap melakukan pemupukan P di lahan sawah walaupun
sudah terdapat kandungan P yang cukup memadai.
Fosfat
merupakan salah satu unsur makro esensial bagi kehidupan tumbuhan dan biota
tanah (Raharjo dkk., 2007). Kesuburan tanah, ketersediaan unsur hara esensial
seperti fosfat, keberadaan akan mikroba yang berperan dalam proses pelarutan
fosfat di dalam tanah mempengaruhi tingkat produksi dalam bidang pertanian
(Ilham dkk., 2014). Fosfat sebenarnya terdapat dalam jumlah yang melimpah dalam
tanah, namun sekitar 95-99% terdapat dalam bentuk fosfat tidak terlarut
sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman (Raharjo dkk., 2007).
Ketersediaan
fosfat bagi tanaman dapat ditanggulangi dengan agen hayati berupa
mikroorganisme yang mampu melarutkan fosfat di tanah secara alami (biofertilizer)
(Ulfiyati dan Zulaika, 2015). Dalam hal ini suplai sebagian unsur hara yang
dibutuhkan tanaman dapat dilakukan oleh mikroba pelarut fosfat (Wardhani dkk.,
2014). Sebagian besar mikrobia tanah berpotensi sebagai biofertilizer,
terutama mikrobia yang hidup pada daerah perakaran (rhizosphere)
(Widawati dkk., 2008). Mikroba pelarut fosfat sering ditemukan berasosiasi di
dalam tanah rizosfer. Mikroba rizosfer adalah salah satu alternatif yang dapat
membantu pertumbuhan tanaman, produktivitas tanaman, dan kualitas tanaman pada
lahan yang kurang subur seperti lahan dengan pH rendah. Bakteri rizosfer dapat
meningkatkan ketersediaan nutrisi anorganik untuk tanaman (Campbell, 1995).
Fosfat di dalam
tanah ditemukan dalam bentuk organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman.
Aktivitas mikroba pelarut fosfat dapat dimanfaatkan untuk penyediaan unsur hara
fosfat bagi tanaman. Peningkatan ketersediaan unsur P ini disebabkan karena
mikroba pelarut fosfat mampu mengeluarkan asam-asam organik seperti asam
sitrat, glutamate, suksinat dan glioksalat yang dapat mengkhelat Fe, Al, Ca,
dan Mg sehingga fosfor yang terikat menjadi larut dan tersedia (Permatasari dan
Nurhidayati, 2014). Pada tanah-tanah masam, fosfat akan bersenyawa dalam
bentuk-bentuk Al-P, Fe-P, dan occluded-P,
sedangkan pada tanah-tanah alkali, fosfat akan bersenyawa dengan kalsium (Ca)
sebagai Ca-P membentuk senyawa kompleks yang sukar larut.
Adanya
pengikatan-pengikatan fosfat tersebut menyebabkan pupuk fosfat yang diberikan
tidak efisien, sehingga perlu diberikan dalam takaran tinggi. Pemberian pupuk
fosfat ke dalam tanah, hanya 15-20% yang dapat diserap oleh tanaman. Sedangkan
sisanya akan terjerap di antara koloid tanah dan tinggal sebagai residu dalam
tanah (Buckman dan Brady, 1956; Jones, 1982). Hal ini akan menyebabkan
defisiensi fosfat bagi pertumbuhan tanaman.
Salah satu
alternatif untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat dalam mengatasi
rendahnya fosfat tersedia dalam tanah adalah dengan memanfaatkan kelompok
mikroorganisme pelarut fosfat, yaitu mikro- organisme yang dapat melarutkan
fosfat tidak tersedia menjadi tersedia sehingga dapat diserap oleh tanaman.
Pemanfaatan mikro-organisme pelarut fosfat diharapkan dapat mengatasi masalah P
pada tanah masam (Sundara Rao dan Sinha, 1963; Asea et al., 1988; Saleh et al., 1989).
Berdasarkan hal
tersebut sehingga makalah ini disusun untuk memberikan informasi terkait dengan
mikroba pelarut fosfat.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud mikroba pelarut fosfat?
2.
Bagaimana
penyebaran mikroba pelarut fosfat?
3.
Bagaimana
mekanisme kerja mikroba fosfat?
4.
Bagaimana
pengaruh mikroba perlarut fosfat terhadap pertumbuhan tanaman?
1.3
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui mikroba pelarut fosfat.
2.
Untuk
mengetahui penyebaran pelarut fosfat.
3.
Untuk
mengetahui mekanisme kerja mikroba fosfat.
4.
Untuk
mengetahui pengaruh mikroba pelarut fosfat terhadap pertumbuhan tanaman.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Mikroba Pelarut Fosfat
Bakteri pelarut fosfat (BPF) merupakan
kelompok mikroorganisme tanah yang berkemampuan melarutkan P yang terfiksasi dalam tanah dan mengubahnya menjadi bentuk yang
tersedia sehingga dapat diserap tanaman. Mikroorganisme pelarut fosfat ini dapat berupa bakteri
(Pseudomonas, Bacillus, Escheria, Actinomycetes, dan lain lain). Sekitar
sepersepuluh sampai setengah jumlah baketri
yang diisolasi dari tanah mampu
melarutkan fosfat, jumlah bakteri
tersebut berkisar 105 – 107 per
gram tanah adan banyak dijumpai di daearah perakaran
tanaman. Menurut Rodriquezz dan Fraga (1999) dari beberapa strain
bakteri, ternyata genus
Pseudomonas dan Bacillus mempunyai kemampuan
yang tinggi dalam melarutkan fosfat.
Sen dan Paul (1957) menggunakan fosfobakterin galur fosfo 24, Bacillus substilis, Bacterium mycoides,
dan B. mesenterricus untuk melarutkan
P organik (glisero fosfat, lesitin, tepung tulang) dan P anorganik (Ca-P, Fe-P)
yang dilakukan secara in vitro. Hasilnya menunjukkan bahwa bakteri tersebut
mampu melarutkan FePO4, Ca3(PO4)2,
gliserofosfat, lesitin, dan tepung tulang berturut-turut sebanyak 2-7, 3-9,
3-13, 5-21, dan 14%. Banik (1982) memanfaatkan Bacillus sp dan dua galur Bacillus
firmus, hasil percobaannya menunjukkan bahwa ketiga bakteri tersebut
masing-masing hanya mampu melarutkan berturut-turut 0.3, 0.9, dan 0.3% dari
senyawa Ca3(PO4)2 yang diberikan, dan tidak
mampu melarutkan AlPO4 dan FePO4.
Sundara Rao dan Sinha (1962) mengidentifikasikan beberapa mikroba
pelarut P dari lapisan perakaran tanaman gandum. Mikroba tersebut adalah Bacillus megaterium, Bacillus sp, Escherechia freundii, dan E. intermedia. Supadi (1991) juga
mendapatkan anggota-anggota Escherechia yang
dapat melarutkan P dari lapisan perakaran tanaman jagung. Bakteri-bakteri
tersebut meningkatkan P tersedia sebanyak 0.8-3.7 ppm pada tanah non steril dan
0.1-3.6 ppm pada tanah steril.
Penelitian dengan jamur sebagai mikroba pelarut P juga telah banyak
dilakukan, jenis jamur yang paling banyak diteliti adalah Aspergillus sp dan Penicillium
sp. Kelompok Penicillium sp mampu
melarutkan 26-40% Ca3(PO4)2, sedangkan Aspergillus sp melarutkan 18% (Chonkar
dan Subba Rao, 1967). Asam sitrat yang dihasilkan oleh Aspergillus awamori berperanan dalam pelarutan Ca-P. Aspergillus fumigatus dan Aspergillus candidus yang diteliti oleh
Banik (1982) menunjukkan kemampuan yang jauh melebihi fosfobakterin dalam
melarutkan Ca3(PO4)2, AlPO4 dan
FePO4, sedangkan Aspergillus
niger yang diteliti olah Anas et al.
(1993) dan Lestari (1994) sangat baik dalam meningkatkan P larut dari media
batuan fosfat, yakni lebih dari 10 kali lipat.
2.2
Penyebaran Mikroba Pelarut Fosfat
Umumnya mikroorganisme pelarut fosfat secara alami berada di tanah
berkisar 0,1-0,5% dari total populasi mikroorganisme (Kucey, 1983). Populasi
mikroorganisme pelarut fosfat dari kelompok bakteri jauh lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok fungi. Jumlah populasi bakteri pelarut fosfat
dapat mencapai 12 juta organisme per gram tanah sedangkan fungi pelarut fosfat
hanya berkisar dua puluh ribu sampai dengan satu juta per gram tanah
(Alexander, 1977).
Mikroorganisme ini hidup terutama di sekitar perakaran tanaman, yaitu di daerah permukaan
tanah sampai kedalaman 25 cm dari
permukaan tanah. Keberadaan
mikroorganisme ini berkaitan dengan banyaknya jumlah bahan
organik yang secara langsung mempengaruhi jumlah dan
aktivitas hidupnya. Akar tanaman mempengaruhi kehidupan mikroorganisme dan secara
fisiologis mikroorganisme yang berada dekat dengan daerah perakaran akan lebih aktif daripada yang hidup jauh dari daerah perakaran.
Keberadaan mikroorganisme pelarut fosfat dari
suatu tempat ke tempat lainnya sangat beragam. Salah satu faktor yang menyebabkan keragaman tersebut adalah sifat
biologisnya. Ada yang hidup pada
kondisi asam, dan ada pula yang hidup pada kondisi netral dan basa, ada yang hipofilik, mesofilik, dan termofilik,
ada yang hidup sebagai aerob dan
ada yang anaerob, dan beberapa sifat lain yang bervariasi. Masing-masing mikroorganisme
memiliki sifat-sifat khusus dan kondisi
lingkungan optimal yang berbeda-beda
yang mempengaruhi efektivitasnya melarutkan fosfat.
Pertumbuhan mikroorganisme pelarut fosfat sangat dipengaruhi oleh
kemasaman tanah. Pada tanah masam, aktivitas mikroorganisme didominasi oleh
kelompok fungi sebab pertumbuhan fungi optimum pada pH 5-5,5. Pertumbuhan fungi
menurun bila pH meningkat. Fungi dalam tanah berbentuk miselium vegetatif
ataupun spora (Waksman dan Starkey, 1981). Miselium atau filamen fungi tersebar
di antara partikel tanah dan tersusun dalam hifa-hifa, ada yang bersepta dan
ada yang tidak.
Sebaliknya pertumbuhan kelompok bakteri optimum pada pH sekitar
netral dan meningkat seiring dengan meningkatnya pH tanah. Secara umum bakteri pelarut fosfat yang dominan yang diisolasi
dari rizosfer tanah termasuk ke dalam golongan
mikroorganisme aerob pembentuk spora (Taha et al., 1969), hidup pada kisaran pH 4-10,6
(Sen dan Paul, 1957).
Populasi bakteri pelarut fosfat umumnya lebih rendah pada daerah
yang beriklim kering dibandingkan dengan daerah yang beriklim sedang. Karena
bentuk dan jumlah fosfat dan bahan organik yang terkandung dalam tanah
berbeda-beda, maka keefektifan tiap mikro-organisme pelarut fosfat untuk
melarutkan fosfat berbeda pula. Penggunaan mikroorganisme pelarut fosfat masih
menghadapi beberapa kendala seperti faktor tanah, karena setiap jenis tanah
mempunyai bentuk fosfat yang berbeda-beda antara lain pada lahan masam bentuk
fosfat didominasi oleh Al-P, Fe-P atau occluded-
P sedangkan pada lahan basa didominasi oleh bentuk Ca-P. Jadi masing- masing
lahan seperti itu memerlukan inokulan pelarut fosfat yang berbeda.
Penelitian jasad renik pelarut P juga banyak dilakukan di India,
Kanada, dan Mesir dengan tujuan untuk melarutkan endapan-endapan Ca-fosfat (Sen
dan Paul, 1957; Kundu dan Gaur, 1980; Subba Rao, 1977; 1982). Pemanfaatan jamur
tanah yang lebih dominan pada pH rendah juga memperoleh perhatian peneliti
tersebut. Das (1963) melaporkan bahwa beberapa Aspergillus sp dan Penicillium
sp mampu melarutkan Al-P dan Fe-P. Jenis jamur yang lain adalah Sclerotium dan Fusarium (Alexander, 1978). Bakteri yang sering dilaporkan dapat
melarutkan P antara lain adalah anggota-anggota genus Pseudomonas, Bacillus, Mycobacterium, Micrococcus, Flavobacterium,
Bacterium, Citrobacter, dan Enterobacter
(Alexander, 1978; Buntan, 1992; Premono, 1994; Illmer et al., 1995; Elfiati,
2005).
2.3
Mekanisme Kerja Mikroba Pelarut
Fosfat
Fosfor relatif tidak mudah tercuci,
tetapi karena pengaruh lingkungan maka statusnya dapat berubah dari P tersedia
bagi tanaman menjadi tidak tersedia, yaitu dalam bentuk Ca-P, Mg-P, Al-P, Fe-P
atau Occuded-P. dalam aktivitasnya mikroba pelarut P akan menghasilkan
asam-asam organic diantaranya ialah asam sitrat, glutamate, sukimat, laktat,
oksalat, glioksalat, malat, fumarate, tartarat dan α-ketobutirat (Alexander,
1978; Subba Rao, 1994; Illmer et al., 1995; Beaucamp dan Hume, 1997).
Meningkatnya asam-asam organic tersebut biasanya diikuti dengan penurunan pH,
sehingga mengakibatkan terjadinya pelarutan P yang terikat Ca. penurunan pH
juga dapat disebabkan terbebasnya asam sulfat dan nitrat pada oksidasi
kemoautotrofik sulfur dan ammonium, berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus
dan Nitrosomonas (Alexander, 1978).
Mekanisme mikroorganisme dalam
melarutkan P tanah yang terikat dan P yang berasal dari alam diduga karena
asam-asam organic yang dihasilkan akan bereaksi dengan AlPO4, FePO4, dan
Ca(PO4)2, dari reaksi tersebut terbentuk khelat organik dari Al, Fe, dan Ca
sehingga P terbebaskan dan larut serta tersedia untuk tanaman (Subba rao,
1982b; Illmer et al., 1995). Menurut Illmer dan Schinner (1995) , jenis bakteri
(Pseudomonas sp dan Pseudomonas aurantiogesum) lebih efektif
dalam melarutkan P dalam bentuk Ca-P seperti apatit dan brushit, sedangkan
jenis fungi (Aspergillus niger dan Penicillum simplicissimum)
lebih efektif dalam melarutkan P dari bentuk Al-P.
IIImer dan Schinner (1995)
menyatakan bahwa mekanisme pelarutan fosfat dari bahan yang sukar larut banyak
dikaitkan dengan aktivitas mikroba yang mempunyai kemampuan menghasilkan enzim
fosfatase, fitase, dan asam organik hasil metabolisme seperti asam asetat,
propionat, glikolat, fumarat, oksalat, suksinat, tartrat, sitrat, laktat, dan
ketoglutarat. Tetapi pelarutan P dapat pula dilakukan oleh mikroorganisme yang
tidak menghasilkan asam organik, yaitu melalui, (1) mekanisme pelepasan proton
(ion H+) pada proses respirasi, (2) asimilasi amonium (NH4 +), dan (3) adanya
kompetisi antara anion organik dengan ortofosfat pada permukaan koloid yang
dapat pula menyebabkan terjadinya movilizáis ortofosfat (IIImer dan Schinner (1995).
Menurut Narsian dan Patel (2000)
pelarutan P oleh mikroorganisme pelarut fosfat selain terjadi karena proses
kelasi dan reaksi pertukaran, juga disebabkan oleh menurunnya pH rizosfer
akibat adanya asam oragnik. Sebelumnya Kirk (1999) berpendapat bahwa mekanisme
utama agar tanaman dapat mengekstrak P dari sumbersumber yang tidak dapat larut
terjadi melalui: produksi asam organic yang dapat menyebabkan pH rizosfer
menurun (penurunan pH itu menjadi penting jika banyak asam organik yang
diekskresikan). Produksi asam organik yang dapat berkompetisi dengan P pada
tempat adsorpsi, dan produksi asam organik dapat membentuk kompleks yang dapat
larut dengan ion logam dan membebaskan P. Tan (1995) menyatakan bahwa selain
enzim fosfatase yang dihasilkan oleh BPF yang dapat menghasilkan fosfat bebas,
ada pula lain lain yaitu enzim fitase, firofosfatase, dan metafosfatase.
2.4
Pengaruh Mikroba Pelarut Fosfat
terhadap Pertumbuhan Tanaman
Pada tanaman jagung, Citrobacter
intermedium dan Pseudomonas putida (Premono
et al., 1991) mampu meningkatkan
serapan P tanaman dan bobot kering tanaman sampai 30%. Pada percobaan yang lain
(Buntan, 1992; Premono dan Widyastuti,
1993), P. putida mampu meningkatkan
bobot kering tanaman jagung sampai 20%, dan mikroba ini stabil sampai lebih dari
4 bulan pada media pembawa zeolit, tanpa kehilangan kemampuan genetisnya dalam
melarutkan batuan fosfat. Inokulasi dengan Enterobacter
gergoviae (Buntan, 1992) pada tanaman jagung dapat meningkatkan bobot
kering tanaman jagung sebesar 29%, sedangkan Lestari (1994) yang menguji Aspergillus niger, menunjukkan bahwa
mikroba tersebut sangat baik dalam memperbaiki penampilan pertumbuhan tanaman
jagung sampai 8 minggu pertama.
Pada tanaman tebu penggunaan bakteri pelarut P (P. putida dan P. fluorescens) dapat meningkatkan bobot kering tanaman sebesar
5-40% dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P asal TSP sebanyak 60-135%
(Premono, 1994). Penelitian Setiawati (1998) pada tanaman tembakau, dengan
menginokulasikan bakteri pelarut P dapat meningkatkan serapan P dan bobot
kering tanaman.
Pal (1998) melaporkan bahwa bakteri pelarut P (Bacillus sp.) pada tanah yang dipupuk dengan batuan fosfat dapat
meningkatkan jumlah dan bobot kering bintil akar serta hasil biji tanaman pada
beberapa tanaman yang toleran masam (jagung, bayam, dan kacang panjang).
Menurut Dubey (1997) inokulasi dengan P.
striata dengan penambahan superfosfat maupun batuan fosfat dapat
meningkatkan pembentukan bintil dan serapan N pada tanaman kedelai dan bakteri
ini dapat dikokulturkan dengan Bradyrhizobium
japonicum tanpa efek yang merugikan.
Beberapa peneliti mengemukakan bahwa efektifnya bakteri pelarut P
tidak hanya disebabkan oleh kemampuannya dalam meningkatkan ketersediaan P
tetapi juga disebabkan karena kemampuannya dalam menghasilkan zat pengatur
tumbuh, terutama oleh mikroba yang hidup pada permukaan akar seperti Pseudomonas fluorescens, P. putida dan P. striata. Mikroba-mikroba tersebut
dapat menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti asam indol asetat (IAA) dan asam
giberelin (GA3) (Arshad dan Frankenberger, 1993; Patten dan Glick, 1996).
Beberapa bakteri pelarut fosfat juga dapat berperan sebagai
biokontrol yang dapat meningkatkan
kesehatan akar dan pertumbuhan tanaman melalui proteksinya terhadap penyakit.
Strain tertentu dari Pseudomonas sp
dapat mencegah tanaman dari patogen fungi yang berasal dari tanah dan potensial
sebagai agen biokontrol untuk digunakan secara komersial di rumah kaca maupun
di lapangan (Arshad dan Frankenberger, 1993). Pseudomonas fluorescens dapat mengontrol perkembangan penyakit dumping-off dari tebu. Kemampuan bakteri
ini terutama karena menghasilkan 2,4-diacethylphloroglucinol, suatu metabolit
sekunder yang dapat menghalangi dumping-off
Phytium ultium (Frenton et al.,
1992). Di samping itu bakteri P. fluorescens
ini juga dapat mengontrol perkembangan jamur Sclerotium roefsii pada tanaman kacang-kacangan.
Herman dan Pranowo (2013) dalam penelitiannya yaitu pengaruh
mikroba pelarut fosfat terhadap pertumbuhan dan serapan hara P pada benih kakao
memiliki pengaruh yang nyata dibanding dengan perlakuan lainnya. Hasil
penelitian disajikan sebagai berikut.
Tabel 1. Pertambahan tinggi benih kakao umur 3, 6, 9 dan 12 minggu setelah perlakuan
Sumber: Herman
dan Pranowo, 2013.
Beberapa mekanisme pelarutan P oleh mikroba pelarut fosfat (MPF)
adalah dengan pelepasan asam organik dan anorganik, dan ekskresi proton yang
menyertai asimilasi NH4+. Selain itu, juga terdapat mekanisme pelepasan enzim
fosfatase yang memineralisasi P organik (Vega, 2007). Bakteri pelarut fosfat
dapat memproduksi beberapa asam organik seperti asam monokarboksilat (asetat,
format), monokarboksilat hidroksi (laktat, glukonat, dan glikolik),
monocarboxylic, ketoglukonat, dekarboksilat (oksalat dan suksinat),
dikarboksilat hidroksi (malat dan maleat) dan asam trikarboksilat hidroksi
(sitrat) (Ramkumar dan Kannapiran, 2011). Bakteri pelarut fosfat juga dapat
menghasilkan fitohormon seperti Indole Acetic Acid (IAA) dan Gibberellic
Acid (GA3), produksi siderofor, dan antagonis terhadap patogen (Nenwani et
al., 2010; Ramkumar dan Kannapiran, 2011; Parani dan Saha, 2012).
Beberapa hasil penelitian penggunaan mikroba pelarut P pada
berbagai jenis tanaman menunjukkan hasil yang positif terhadap pertumbuhan dan
serapan hara. Penggunaan mikroba pelarut P seperti Bacillus pantotheticus,
Klebsiella aerogenes, Chromobacterium lividum, dan Bacillus
megaterium pada tanaman caysin (Brassica caventis Oed.) menghasilkan
bobot daun segar dan bobot tanaman segar (Widawati dan Suliasih, 2006).
Aplikasi inokulum mikroba pelarut P yang disertai dengan pupuk anorganik NPK
50% dari takaran optimal pada benih lada (Piper nigrum L.) memberikan
pengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah cabang
serta dapat meningkatkan bobot segar dan kering tajuk, serapan hara N, P, dan K
(Herman et al., 2012). Penggunaan MPF yang dikombinasikan dengan guano
kelelawar dan kompos daun gamal dapat meningkatkan tinggi tanaman sebanyak
70,83%, jumlah cabang sebesar 153,20%, dan jumlah daun 92,26% dibandingkan
kontrol dan terdapat interaksi yang nyata antara MPF, guano kelelawar,
dan kompos daun glirisida terhadap peningkatan tinggi tanaman, jumlah cabang,
dan jumlah daun lada perdu (Ruhnayat, 2007). Goenadi et al. (1997)
menemukan bahwa penggunaan pupuk hayati emas (PHE) sebanyak 50 kg per hektar
dan 50 % pupuk anorganik pada tanaman karet menghasilkan produksi lateks lebih
tinggi dibanding hanya menggunakan pupuk inorganik saja. PHE adalah pupuk
hayati yang mengandung mikroba penambat N dan P. Hasil penelitian Nasaruddin
(2012) menunjukkan bahwa inokulasi Azotobacter dan mikoriza, keduanya
merupakan mikroba pelarut P, berkorelasi positif secara linier dengan
pertumbuhan benih kakao dan berkorelasi positif kuadratik dengan bobot kering
akar benih kakao sampai umur 4 bulan setelah tanam.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari makalah diatas, dapat disimbulkan bahwa:
1.
Bakteri pelarut fosfat (BPF) merupakan
kelompok mikroorganisme tanah yang berkemampuan melarutkan P yang terfiksasi dalam tanah dan mengubahnya menjadi bentuk yang
tersedia sehingga dapat diserap tanaman.
2.
Mikroba pelarut fosfat hidup di sekitar perakaran tanaman, yaitu di daerah permukaan
tanah sampai kedalaman 25 cm dari
permukaan tanah. Keberadaan
mikroorganisme ini berkaitan dengan banyaknya jumlah bahan
organik yang secara langsung mempengaruhi jumlah dan
aktivitas hidupnya.
3.
Mekanisme
pelarutan fosfat dari bahan yang sukar larut banyak dikaitkan dengan aktivitas
mikroba yang mempunyai kemampuan menghasilkan enzim fosfatase, fitase, dan asam
organik hasil metabolisme seperti asam asetat, propionat, glikolat, fumarat, oksalat,
suksinat, tartrat, sitrat, laktat, dan ketoglutarat.
4.
Mikroba
pelarut fosfat dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui proses fiksasi P
yang tidak tersedia menjadi tersedia sehingga penyerapan unsur hara P dapat
meningkat, selain itu bakteri pelarut fosfat juga dapat menghasilkan fitohormon
seperti Indole Acetic Acid (IAA) dan Gibberellic Acid (GA3),
produksi siderofor, dan antagonis terhadap patogen.
3.2
Saran
Dengan melihat peranan mikroba dalam menyediakan unsur hara fosfor,
maka perlu dikaji lebih mendalam terkait jenis-jenis mikroba yang bermanfaat
bagai tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1978. Introduction to Soil Microbiology. 2nd
ed. Willey Eastern Limited. New Delhi.
Arshad, M and W.T. Frankenberger. 1993. Microbial production of
plant growth regulators. In. F.B.
Metting (ed). Soil Microbial Ecology. Marcel Dekker,Inc. New York, Basel,
Hongkong. p 307-347.
Beauchamp, E.G and D.J. Hume. 1997. Agricultural soil manipulation:
The use of bacteria, manuring and plowing. In
J.D. van Elsas., J.T. Trevors and E.M.H. Wellington (eds). Modern Soil
Microbiology. Marcel Dekker, New York. p 643-664.
Buntan, A. 1992. Efektifitas bakteri pelarut fosfat dalam kompos
terhadap peningkatan serapan P dan efisiensi pemupukan P pada tanaman jagung.
Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Dubey, S.K. 1997. Co-inoculation of phosphorus bacteria with Bradyrhizobium japoniucum to increase
phosphate availability to rainfed soybean on Vertisol. J. Indian Soc. Soil Sci.
45: 506-509.
Goenadi, D. H., R. Stakaranwati, Y. Away, dan Herman. 1997.
Produksi Biofertilizer untuk Efisiensi Penggunaan Pupuk dalam Budidaya Tanaman
yang Aman Lingkungan. Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan. Bogor.
Herman M. dan D. Pranowo. 2013. Pengaruh Mikroba Pelarut Fosfat
terhadap Pertumbuhan dan Serapan Hara P Benih Kakao (Theobroma cacao L.).
Buletin Ristri 4 (2): 129-138.
Herman, M., K. D. Sasmita, dan D. Pranowo. 2012. Pemanfaatan
mikroba rizosfer untuk meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara pada tanaman
lada. Buletin Riset Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri 3 (2):
143-150.
Illmer, P., A. Barbato and F. Schinner. 1995. Solubilizing of
hardly soluble AlPO4 with P-solubilizing microorganism. Soil Biol.
Biochem. 27:265-270.
Lestari, P. 1994. Pengaruh fungi pelarut fosfat terhadap serapan
hara P dan pertumbuhan tanaman jagung. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Nasaruddin. 2012. Respon pertumbuhan benih kakao terhadap inokulasi
Azotobacter dan mikoriza. J. Agrivigor 11 (2): 300-315.
Nenwani, V., P. Doshi, T. Saha, dan S. Rajkumar. 2010. Isolation
and characterization of a fungal isolate for phosphate solubilization and plant
growth promoting activity. Journal of Yeast and Fungal Research 1 (1):
009-014.
Pal, S.S. 1998. Interaction of an acid tolerant strain of phosphate
solubilizing bacteria with a few acid tolerant crops. Plant Soil. 198: 169-177.
Parani, K. dan B. K. Saha. 2012. Prospects of using phosphate
solubilizing Pseudomonas as bio fertilizer. European Journal of
Biological Sciences 4 (2): 40-44.
Patten, C.L and B.R. Glick. 1996. Bacterial biosyntesis of
indole-3-acetic acid. Can. J. Microbiol 42:207-220.
Premono, E.M. 1994. Jasad renik pelarut fosfat, pengaruhnya
terhadap P tanah dan efisiensi pemupukan P tanaman tebu. Disertasi. Program
Pascasarjana IPB.
Raharjo, B, A. Suprihadi, Agustina D.K. 2007. Pelarutan fosfat
anorganik oleh kultur campur jamur pelarut fosfat secara in vitro. Jurnal
Sains & Matematika 15 (2): 45-54.
Ramkumar, S. dan E. Kannapiran. 2011. Isolation of total
heterotrophic bacteria and phosphate solubilizing bacteria and in vitro study
of phosphatase activity and production of phytohormones by PSB. Archives of
Applied Science Research 3 (5): 581-586.
Ruhnayat, A. 2007. Pemanfaatan Pupuk Bio dan Pupuk Alam untuk
Mendukung Budidaya Organik Pada Tanaman Lada dan Vanili.
http://balittro.litbang.deptan.go.id. Diakses 30 Oktober 2020.
Setiawati, T.C. 1998. Efektifitas mikroba pelarut P dalam
meningkatkan ketersediaan P dan pertumbuhan tembakau Besuki Na-Oogst (Nicotiana tabacum L.). Tesis. Program
Pascasarjana. IPB. Bogor.
Subba Rao, N.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman.
Edisi ke dua. Terjemahan Herawati
Susilo. UI Press.
Vega, N. W. O. 2007. A review on beneficial effects of rhizosphere
bacteria on soil nutrient availability and plant nutrient uptake. Revista
Facultad Nacional de Agronomía -Medellín 60 (1): 3621-3643.